Halaman

Assalamu'alaikum, have barokah day ;)

Kamis, 22 Oktober 2009

PSIKOLOGI PENDIDIKAN TEORI BELAJAR KOGNITIF

PENDAHULUAN

Psikologi kognitif berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”, menurut mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Bruners sebagai ahli teori belajar psikologi kognitif memandang proses belajar itu sebagai tiga proses yang berlangsung secara serempak, yaitu :
1. Proses perolehan informasi baru
2. Proses transformasi pengetahuan
3. Proses pengecekan ketepatan dan memadainya pengetahuan tersebut.
Informasi Baru dapat merupakan penyempurnaan pengetahuan terdahulu atau semacam kekuatan yang berpengaruh kepada pengetahuan tedahulu seseorang. Dalam kondisi belajar, seseorang terlibat langsung adalam situasi itu dan memperoleh “insight” untuk pemecahan masalah, jadi menurut aliran kognitif bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada “insight” terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Dalam ilmu komputer, tujuan mempelajari psikologi kognitif adalah menemukan bagaimana informasi diwakili di dalam pikiran manusia. Gagasan sentral di balik ilmu kognitif adalah sistem kognisi manusia dipandang sebagai komputer raksasa yang melakukan kalkulasi kompleks yang dapat dipecah-pecahkan menjadi komputasi yang lebih sederhana. Oleh karena itu, kognisi manusia dapat dianalisis pada tingkat ( hardware ) atau neuron dan tingkat representasi mental ( software ). Komputasi mental dan tingkat analisis ideal adalah kognitif.


PEMBAHASAN

Psikologi kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi umum dan mencakup studi ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan mental sejauh berkaitan dengan cara manusia berpikir dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan-kesan yang masuk melalui indera, pemecahan masalah, menggali ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan mental mencakup gejala kognitif, afektif ( penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan ), konatif ( keputusan kehendak ). Ilmu kognitif menjelaskan bidang penelitian psikologi yang mengurusi proses kognitif seperti perasaan, pengingatan, penalaran, pemutusan dan pemecahan masalah, serta menghindari adanya tumpang tindih ilmu pengetahuan yang tertarik dalam proses tersebut seperti filosofi.
Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan guru menurut teori belajar psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan di sekolah, maka peserta akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.
Oleh karena itu, para ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas ialah faktor kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun kegiatan belajar secara kelompok. Pengetahuan tentang kognitif peserta didik perlu dikaji secara mendalam oleh para calon guru dan para guru demi untuk menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa pengetahuan tentang kognitif guru akan mengalami kesulitan dalam membelajarkan peserta didik di kelas yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas melalui proses belajar mengajar antara guru dan peserta didik.
Ahli teori kognitif berpendapat bahwa belajar adalah hasil dari usaha kita untuk dapat mengerti dunia. Untuk melakukan ini, kita menggunakan semua alat mental kita. Caranya, kita berpikir tentang situasi, sama baiknya kita berpikir tentang kepercayaan, harapan, dan perasaan kita yang akan mempengaruhi bagaimana dan apa yang kita pelajari. Dua siswa mungkin dalam kelas yang sama, tetapi belajar dua pelajaran yang berbeda. Apa yang dipelajari setiap siswa tergantung pada apa yang diketahui dari masing-masing siswa dan bagaimana informasi baru diproses.
Pandangan kognitif melihat belajar sebagai sesuatu yang aktif. Mereka berinisiatif mencari pengalaman untuk belajar, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah, mengatur kembali, dan mengorganisasi apa yang telah mereka ketahui untuk mencapai pelajaran baru. Meskipun secara pasif dipengaruhi oleh lingkungan, orang akan aktif memilih, memutuskan, mempraktikkan, memperhatikan, mengabaikan, dan membuat banyak respons lain untuk mengejar tujuan. Satu hal penting yang mempengaruhi dalam proses ini adalah apa yang individu pikirkan dalam situasi belajar. Ahli-ahli psikologi kognitif menjadi lebih berminat dalam peranan pengetahuan dalam belajar. Apa yang telah kita ketahui menentukan seberapa luasnya apa yang akan kita pelajari, yang kita ingat, dan yang kita lupakan.
Menurut Bransford ( dalam Djiwandono, 2004:150 ), yang penting dalam hal ini ialah bagaimana orang belajar, mengerti dan mengingat informasi, dan mengapa beberapa orang dapat melakukan dengan baik dan yang lain tidak. Kenyataannya, ahli-ahli psikologi kognitif lebih cenderung menyelidiki aspek-aspek penting dalam belajar, seperti bagaimana orang dewasa mengingat informasi atau bagaimana anak-anak memahami cerita-cerita. Mereka tidak mencari hukum-hukum umum belajar yang menerapkan semua organisme (binatang, manusia) dalam semua situasi. Mereka lebih berminat dalam bentuk-bentuk belajar pada manusia yang dapat mengemukakan alasan dan menyelesaikan masalah, bahasa.
Sasaran belajar adalah pengaturan kegiatan kognitif dalam sistematika arus pikiran sendiri dan sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri ( control process). Untuk menunjuk pada pengaturan kegiatan kognitif dapat menggunakan metacognition, yaitu pengetahuan tentang kegiatan berpikir dan belajar serta kontrol terhadap kegiatan itu pada diri sendiri. Yang harus dikuasai bukan hanya mengetahui apa yang harus diperbuat melainkan juga mengetahui bagaimana dan kapan harus berbuat ( cognitive monitoring ). Menurut Djaali ( 2007:67) fase-fase jalur belajar pengaturan kegiatan kognitif adalah sebagai berikut :
1. Fase motivasi.
Untuk mendapat motivasi siswa harus memeras otaknya sendiri. Jika motivasi lemah, anak akan membiarkan problem tetap menjadi problem dan terlalu susah untuk memikirkan.
2. Fase konsentrasi
Anak harus mengamati dengan cermat, jika penyelesaian masalah memerlukan pengamatan.
3. Fase pengolahan
Anak harus menggali dari ingatannya terhadap siasat yang pernah digunakan untuk mengatasi hal serupa, yang cocok untuk suatu problem. Jika siasat dalam ingatan tidak tersedia, ia harus menciptakan siasat baru dengan menggunakan kreativitas dan pikiran terarah.



4. Fase umpan balik
Konfirmasi tepat dan tidaknya penyelesaian yang ditem,puh. Konfirmasi ini bisa meningkatkan dan melemahkan motivasi anak untuk memeras otak lagi pada kesempatan yang akan datang.

1. Teori Belajar Cognitive Field ( Kurt Lewin )
Teori belajar cognitive field menitikberatkan perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial, karena pada hakikatnya masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis, yang disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya orang yang dijumpai, fungsi kejiwaan yang dimiliki dan objek material yang dihadapi.
Jadi, tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan, baik yang berasal dari dalam diri individu, seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun yang berasal dari luar individu, seperti tantangan dan permasalahan yang dihadapi. Menurut teori ini, belajar itu berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.
Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil pertemuan dari dua kekuatan, yaitu yang berasal dari struktur medan kognitif itu sendiri dan yang lainnya berasal dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Dengan demikian, peranan motivasi jauh lebih penting daripada reward atau hadiah.

2. Teori Belajar Cognitive Development ( Piaget )
Piaget memandang bahwa proses berpikir merupakan aktivitas dari fungsi intelektual, yaitu dari berpikir konkret menuju abstrak. Perkembangan intelektual adalah kualitatif, bukan kuantitatif. Intelegensia itu terdiri atas tiga aspek, yaitu :
a. Struktur atau scheme ialah pola tingkah laku yang dapat diulang.
b. Isi atau content ialah pola tingkah laku spesifik, ketika seseorang menghadapi suatu masalah.
c. Fungsi atau function adalah yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual. Function terdiri atas dua macam fungsi invarian, yaitu fungsi organisasi dan adaptasi.
Organisasi berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem yang koheren, sedangkan adaptasi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan dengan lingkungan. Adaptasi terdiri dari dua macam proses komplementer, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk menghadapi masalah dalam lingkungannya, sedangkan akomodasi adalah proses prubahan respons individu terhadap stimulasi.
Jadi, perkembangan kognitif tergantung pada akomodasi. Oleh karena itu, siswa harus diberikan suatu areal yang belum diketahui, agar ia dapat belajar. Dengan adanya area baru ini siswa akan mengadakan usaha-usaha untuk dapat mengakomodasi. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah perkembangan kognitif.

3. Teori Belajar Benyamin S. Bloom
Benyamin S. Bloom telah mengembangkan “taksonomi” untuk domain kognitif. Taksonomi adalah metode untuk membuat urutan pemikiran dari tahap dasar ke arah yang lebih tinggi dari kegiatan mental, dengan enam tahap sebagai berikut :
a. Pengetahuan ( Knowledge ) ialah kemapuan untuk menghafal, mengingat atau mengulangi informasi yang pernah diberikan. Contoh, Sebutkan lima bagian utama kamera 35 mm.
b. Pemahaman ( comprehension ) ialah kemampuan untuk menginterpretasi atau mengulang informasi dengan menggunakan bahasa sendiri. Contoh, Uraikan 6 tahapan dalam mengisi film untuk kamera 35 mm.
c. Aplikasi ( Application ) ialah kemampuan menggunakan informasi, teori, dan aturan pada situasi baru. Contoh, pilih ekspose 3 kamera untuk pengambilan gambar yang berbeda.
d. Analisis ( Analysis ) ialah kemampuan mengurai pemikiran yang kompleks, dan mengenai bagian-bagian serta hubungannya. Contoh, Bandingkan cara kerja dua kamera 35 mm yang memiliki model yang berbeda.
e. Sintesis ( Synthesis ) ialah kemampuan mengumpulkan komponen yang sama guna membentuk satu pola pemikiran yang baru. Contoh, Susunlah urutan fotografi untuk 6 objek.
f. Evaluasi ( evaluation ) ialah kemampuan membuat pemikiran berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Contoh, buatlah penilaian terhadap kualitas slide yang dihasilkan dalam lomba, dengan 4 urutan penilaian.


KESIMPULAN

Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal.
Pandangan kognitif melihat belajar sebagai sesuatu yang aktif. Mereka berinisiatif mencari pengalaman untuk belajar, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah, mengatur kembali, dan mengorganisasi apa yang telah mereka ketahui untuk mencapai pelajaran baru. Meskipun secara pasif dipengaruhi oleh lingkungan, orang akan aktif memilih, memutuskan, mempraktikkan, memperhatikan, mengabaikan, dan membuat banyak respons lain untuk mengejar tujuan.
Menurut Djaali ( 2007:67) fase-fase jalur belajar pengaturan kegiatan kognitif adalah :
1. Fase motivasi
2. Fase Konsentrasi
3. Fase pengolahan
4. Fase umpan balik.


DAFTAR PUSTAKA

Djaali. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Djiwandono,Sri Esti.2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Gramedia
Hadis, Abdul.2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung : Alfabeta
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.

TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF ( SABA’AH AHRUF )

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Satu hal yang tak pernah hilang dari ingatan, ialah Al-Qur’an selalu memberi inspirasi yang sangat luas, bagi para pemeluk ajaran Islam telah tertanam dalam hati sanubari mereka, Al-Qur’an adalah petunjuk yang nyata bagi manusi, untuk kesejahteraan di dunia dan akhirat, tetapi bagi para pengagumnya Al-Qur’an tidak hanya sekedar petunjuk dan pedoman hidup yang nyata, mereka diajak menyelam ke dalam lautan ilmu dan menikmati keindahannya yang tak pernah habis untuk dinikmati.
Kecintaan terhadap Al-Qur’an membawa semangat untuk berupaya secara seksama dan penuh keikhlasan. Sejak zaman dahulu pelestarian terhadap Al-Qur’an telah menumbuhkan semangat para sahabat untuk menuliskannya di pelepah kurma, tulang-tulang unta, kulit-kulit binatang, mereka berlomba mempelajari Al-Qur’an dan menghafalnya. Tidak heran bila akhirnya upaya itu semakin berkembang dan melahirkan berbagai ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an.
Di tangan para tabi’in, upaya-upaya sistematis dibangun untuk mempelajarinya, mulai dari kodifikasi, tata cara penulisan al-Qur’an dan juga turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Ditinjau dari berbagai segi Al-Qur’an membuat manusia semakin dipacu untuk terus mendalami dan menyelami kedalaman makna yang tersurat dan tersirat darinya.
Menelusuri dan menelaah sejarah dari sahabat sampai saat ini tentang berbagai upaya manusia terhadap Al-Qur’an dapat saya katakan terdiri dari tiga jenis; pertama, adalah upaya manusia melestarikan dan menjaga Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman. Kedua, upaya manusia mempelajari Al-Qur’an untuk kepentingan ilmiah. Ketiga, upaya manusia mempelajari Al-Qur’an untuk mengurangi, mengaburkan mukjizat Al-Qur’an dan mengingkarinya.
BAB II
MASALAH

1. Apa dalil-dalil turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf ?
2. Apa hikmah turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf ?
3. Apakah Tujuh Huruf itu ada dalam mushhaf-mushhaf sekarang ?
4. Adakah Perbedaan Pendapat tentang pengertian Tujuh Huruf ?


BAB III
PEMBAHASAN

1. Dalil-dalil Turunnya Al-Qur’an
1. Imam Bukhari dan Imam Muslim
Dalam shahihnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Jibril membacakan Al-Qur'an kepadaku dengan satu hurut kemudian aku mengulanginya. (Setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan iapun menambahiku sampai dengan tujuh huruf". Imam Muslim menambahkan: "Ibnu Syihab mengatakan: Telah sampai berita padaku bahwa tujuh huruf itu untuk perkara yang satu yang tidak diselisihkan halal haramnya".
2. Imam Bukhari
Meriwayatkan yang lafazhnya dari Bukhari bahwa; Umar bin Khattab berkata: "Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa hidupya Rasulullah SAW, aku mendengar bacaannya, tiba-tiba ia membacanya dengan beberapa huruf yang belum pernah Rasulullah SAW membacakannya kepadaku sehingga aku hampir beranjak dari shalat, kemudian aku menunggunya sampai salam. Setelah ia salam aku menarik sorbannya dan bertanya: "Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?". Ia menjawab: "Rasulullah SAW yang membacakannya kepadaku", aku menyela: "Dusta kau, Demi Allah sesungguhnya Rasulullah SAW telah membacakan surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini".
Setelah itu aku pergi membawa dia menghadap Rasulullah SAW lalu aku bertanya: "Wahai Rasulullah aku telah mendengar lelaki ini, ia membaca surat Al-Furqan dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqan ini kepadaku". Rasulullah SAW menjawab: "Hai Umar! lepaskan dia. "Bacalah Hisyam!". Kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar ketika ia membacanya. Rasululllah SAW bersabda: "Begitulah surat itu diturunkan" sambil menyambung sabdanya: "Bahwa Al-Qur'an ini diturunkan atas tujuh huruf maka bacalah yang paling mudah!".
Dalam satu riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendengarkan pula bacaan sahabat Umar r.a. kemudian beliau bersabda: "Begitulah bacaan itu diturunkan".
3. Imam Muslim
Meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay Bin Ka'ab ia berkata: "Aku berada di masjid, tiba-tiba masuklah lelaki, ia shalat kemudian membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi lelaki lain membaca berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama". Setelah kami selesai shalat, kami bersama-sama masuk ke rumah Rasulullah SAW, lalu aku bercerita: "Bahwa si lelaki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan kawannya ini membaca berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama". Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan keduanya untuk membaca.
Setelah mereka membaca Rasulullah SAW menganggap baik bacaannya. Setelah menyaksikan hal itu, terhapuslah dalam diriku sikap untuk mendustakan, tidak seperti halnya diriku ketika masa Jahiliyyah. Nabi menjawab demikian tatkala beliau melihat diriku bersimbah peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami seolah-olah berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang Maha Agung.
Setelah saya melihat dalam keadaan demikian, beliau menegaskan pada diriku dan berkata: "Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca Qur'an dengan suatu huruf lahjah (dialek)", kemudian aku meminta pada Jibril untuk memudahkan umatku, dia membacakannya dengan huruf kedua, akupun meminta lagi padanya untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya. "Hai Muhammad, bacalah Qur'an dalam 7 lahjah dan terserah padamu Muhammad apakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan permintaan lagi".
Kemudian aku menjawabnya: "Wahai Allah! Ampunilah umatku, ampunilah umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat dimana semua makhluk mencintaiku sehingga Nabi Ibrahim as". Imam Qurthubi berkata: "Denyutan hati ini (dalam jiwa Ubay) akibat dari sabda Rasulullah SAW ketika orang-orang bertanya kepadanya: "Bahwasanya kami mendapatkan sesuatu dalam diri kami, dimana seseorang merasa berat sekali untuk mengatakannya". Rasulullah SAW bertanya: "Apakah sudah kalian temui jawabannya?". "Ya" jawab mereka. Rasulullah SAW bersabda: "Itu adalah iman yang jelas". (HR. Muslim)
4. Al-Hafizh Abu Ya'la
Dalam musnad kabirnya meriwayatkan: "Bahwa Utsman r.a. pada suatu hari ia berkata di atas mimbar: "Aku sebut nama Allah teringat seorang lelaki yang mendengar Rasulullah SAW bersabda: bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas lagi sempurna". Ketika Umar berdiri para hadirin berkata: "Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas dan lengkap". Kemudian Utsman r.a. berkata: "Saya menyaksikannya bersama mereka".

5. Imam Muslim
Dengan sanad dari Ubay bin Ka'ab meriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika berada di Oase Bani Ghaffar didatangi malaikat Jibril a.s. lalu Jibril berkata: "Sesungguhnya Allah SWT telah memerintah engkau unfuk membacakan Al-Qur'an kepada ummatmu dengan satu huruf". Nabi menjawab: "Aku meminta dulu kepada Allah sehat dan ampunannya, sebab ummatku tidak mampu menjalankan perintah itu".
Kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya, seraya berkata: "Allah SWT telah memerintahkan kau untuk membacakan Al-Qur'an dengan dua huruf". Nabi menjawab: "Aku meminta sehat dan ampunan dulu kepada Allah, karena ummatku tidak kuat menjalankannya".
Jibril datang lagi untuk ketiga kalinya dan berkata: "Allah SWT telah memerintahkan kau untuk membacakan Al-Qur'an kepada ummatmu dengan tiga huruf. Nabi menjawab: "Aku minta sehat dan maghfirah dulu kepada Allah, sebab ummatku tidak sanggup mengerjakannya".
Jibril datang lagi untuk keempat kalinya seraya berkata: "Kau telah diperintahkan Allah untuk membacakan Al-Qur'an kepada ummatmu dengan tujuh huruf dan huruf mana saja yang mereka baca berarti benar".
6. At-Turmudzy
Juga meriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, ia mengatakan: "Rasulullah SAW berjumpa dengan Jibril di gundukan Marwah". Ia (Ka'ab) berkata: "Kemudian Rasul berkata kepada Jibril bahwa aku ini diutus untuk ummat yang ummy (tidak bisa menulis dan membaca). Diantaranya ada yang kakek-kakek tua, nenek-nenek bangka dan anak-anak". Jibril menjawab: "Perintahkan, membaca Al-Qur'an dengan tujuh huruf". Imam Turmudzy mengatakan: "Hadits ini hasan lagi shahih".
Dalam suatu lafazh lain disebutkan: "Barangsiapa membacanya dengan satu huruf saja berarti telah membaca seperti ia (Nabi) membaca".
Dituturkan dalam lafazh Hudzaefah, kemudian aku berkata: "Wahai Jibril bahwa aku diutus untuk ummat yang ummiyah di dalamnya terdapat orang lelaki, perempuan, anak-anak, pelayan (babu) dan kakek tua yang tidak bisa membaca sama sekali". Jibril balik berkata: "Bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf".
7. Imam Ahmad
Mengeluarkan hadits dengan sanadnya dari Abi Qais maula 'Amar bin 'Ash dari 'Amr, "Bahwa ada seseorang ini berdiri sehingga tidak terang membaca satu ayat Al-Qur'an". Kemudian 'Amr berkata kepadanya: "Sebenarnya ayat itu begini dan begini". Setelah itu ia mengatakan hal itu kepada Rasulullah SAW, Rasulullah SAW menjawab: "Sesungguhnya Al-Qur'an itu diturunkan dengan tujuh huruf, mana saja yang kalian baca berarti benar dan jangan kalian saling meragukan".
8. Ath-Thabary dan Ath-Thabrany
Meriwayatkan dari Zaid bin Arqam. Ia berkata: "Ada seseorang datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: "Ibnu Mas'ud telah membacakan sebuah surat kepadaku seperti yang telah dibacakan oleh Zaid bin Tsabit dan membacakan pula kepadaku Ubay bin Ka'ab. Ternyata bacaan mereka berbeda-beda. Maka bacaan siapa yang saya ambil?". Rasulullah SAW terdiam, sedangkan shahabat 'Ali berada di sampingnya, kemudian 'Ali berkata: "Setiap orang diantara kalian hendaklah membaca menurut pengetahuannya, karena kesemuanya baik lagi indah".
9. Ibnu Jarir Ath-Thabary
Mengeluarkan hadits dari Abi Hurairah, bahwa ia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Al-Qur'an ini diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah semampunya dan tidak berdosa. Tetapi jangan sekali-kali mengakhiri dzikir rahmat dengan adzab atas dzikir 'adzab dengan rahmat".

2. Hikmah Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf

a. Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur'an sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat ke-Arabannya. Kami ambil hikmah ini dengan alasan sabda Rasulullah SAW: "Agar mempermudah ummatku, bahwa ummatku tidak mampu melaksanakannya", dan lain-lain.
b. Seorang ahli tahqiq Ibnu Jazary berkata: "Adapun sebabnya Al-Qur'an didatangkan dengan tujuh huruf, tujuannya adalah untuk memberikan keringanan kepada ummat, serta memberikan kemudahan sebagai bukti kemuliaan, keluasan, rahmat dan spesialisasi yang diberikan kepada ummat utama disamping untuk memenuhi tujuan Nabinya sebagai makhluk yang paling utama dan kekasih Allah".
c. Dimana Jibril datang kepadanya sambil berkata: "Bahwa Allah telah memerintahkan kamu untuk membacakan Al-Qur'an kepada ummatmu dengan satu huruf". Kemudian Nabi SAW menjawab: "Saya akan minta 'afiyah (kesehatan) dan pertolongan dulu kepada Allah karena ummatku tidak mampu". Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan sampai dengan tujuh huruf.
d. Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan dikalangan suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.

3. Tujuh Huruf itu ada dalam mushhaf-mushhaf sekarang

1. Sekelompok fukaha’, qurra’dan ulama mutakallimin, mereka menyatakan bahwa semua huruf itu ada pada mushhaf Utsmaniyah. Alasan mereka :
a. Tidak diperbolehkan bagi umat ini untuk menyia-nyiakan atau membuang begitu saja sebagian dari beberapa huruf itu.
b. Sesungguhnya para sahabat telah sepakat bahwa mushhaf yang dinuqil Utsman itu adalah huruf yang dituliskan oleh Abu Bakar r.a.
c. Sabda Nabi SAW.: “Sesungguhnya umatku tidak mampu akan demikian”, tidaklah dimaksudkan hanya pada masa sahabat saja, sedangkan kemudahan Al-Qur’an itu bersamaan dengan tetapnya kemukjizatannya.
2. Jumhurul ulama khalaf maupun salaf serta imam-imam kaum muslimin telah memilih bahwa mushhaf-mushhaf Utsmaniyyah memuat ahruf as-saba’ah yang terkandung dalam tulisannya saja serta mengumpulkan pemberian akhir yang permohonannya diajukan oleh Nabi SAW kepada Jibril.
3. Ibnu Jarir Ath-Thabari dan pengikutnya berpendapat bahwa mushhaf-mushhaf Utsmaniyyah hanya memuat satu huruf saja dari ahruf as-saba’ah. Mereka mengatakan ahruf as-saba’ah ada pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Akan tetapi keika pada masa Utsman para Imam berpendapat agar mencukupkan pada satu huruf saja untuk menyatukan kalimaul Muslimin. Dan dengan huruf yang satu itulah Utsman menulis semua mushhafnya.
Az-Zarqani berkata dalam kitabnya manahilul Irfan, halaman 662 yang redaksinya sebagai berikut : “Manakala kita menilik kembali “wajah-wajah tujuh” itu pada mushhaf-mushhaf Utsmaniyyah dan apa yang telah tertulis, kita akan menemukan kebenaran yang tidak bisa lagi dibantah. Yaitu bahwa sesungguhnya mushhaf-mushhaf Utsmaniyyah itu memuat ahruf as-saba’ah (tujuh huruf) seluruhnya. Dalam arti, bahwa tiap-tiap satu dari mushhaf-mushhaf itu memuat penulisan yang sesuai dengan huruf-hurufnya secara keseluruhan maupun sebagian, tidak mengubah dalam pengumpulannya dari salah satu hurufnya”.
Syekh Az-Zarqani telah menerangkan bahwa menurut mazhab yang terpilih “wajah-wajah tujuh” itu sampai kini masih ada dalam mushhaf-mushhaf Utsmaniyyah.
Berikut ini contoh, hanya saja sebagian wajah-wajah tujuh itu dikatakan telah dinaskh ”pemberian” yang terakhir.Firman Allah :
     
Disitu lafal al-amaanata, dibaca dalam bentuk jamak atau dibaca mufrad, akan tetapi dalam mushhaf Utsmaniyyah lafal itu ditulis li-amaanatihim, yang hurufnya ditulis mufrad, namun diatasnya terdapat alif kecil untuk mengisyaratkan bacaan jamak, dengan tanpa diberi harakat. ( Manahilul Irfan,hal. 162).

4. Perbedaan Pendapat tentang pengertian Tujuh Huruf

a. Ada segolongan orang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah bahasa Arab itu terdiri dari tujuh bahasa yang digabung menjadi satu, yaitu bahasa Hazil, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yamana.
b. Sebagian orang berpendapat bahwa pengertian tujuh huruf ialah bentuknya yang tujuh. Yaitu, amar, nahi, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Hadits dari Ibnu Mas’ud RA kata nabi SAW. Kitab yang pertama kali diturunkan satu bab atas satu huruf. Al-Qur’an itu tujuh Bab atas tujuh huruf. Zajar, amar, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
c. Adapula segolongan orang yang mengatakan bahwa pengertian tujuh huruf yaitu bentuknya itu yang tujuh kali berubah, yang jatuhnya itu berbeda-beda.
1. Perbedaan nama-nama dalam mufrad , mudzakar dan cabang-cabangnya. Seperti firman Allah ‘Azza wa jalla dalam surat Al-Mukminun ayat : 8, kalimat amaanatihim () kadang dibaca jamak, kadang pula dibaca mufrad
2. Perbedaan dalam tashrif fi’il, ada yang madhi, mudhari’ dan amar. Misalnya dalam firman Allah ‘Azza wa jalla (As-Saba’ : 19 ), lafal rabbana () kadang dibaca nashab sebagai munada dan lafal baa’id sebagai fi’il amar. Namun kadang juga dibaca rabbunaa ba’ada, lafal rabbun dibaca rafa’ dan lafal ba’ada sebagai fi’il madhi ditasydid ‘ainnya, dan jumlahnya sebagai khabar.
3. Perbedaan dalam ibdal (penggantian), baik penggantian suatu huruf dengan huruf lain seperti dalam firman Allah surat Al-Baqarah : 259. Lafal kaifa nunsyizuhaa(كَيْفَ ئُنْشِزُهَا ) kadang dibaca dengan za dan kadang pula dibaca dengan ra beserta fathah nunnya. Dan firman Allah dala surat Al-Waqi’ah : 29, lafal wa thalhin mandhuudin ( وَطَلْحٍ مَنْضُوْدٍ ) kadang dibaca dengan wa thal’in ( وَطَلْعٍ ) , sehingga disini tidak ada perbedaan antara isim dan fi’il. Atau penggantian lafal dengan lafal lain. Seperti firman Allah dalam surat Al-Qari’ah : 5, lafal kal’ihnilmanfuusy (كَالْعِهَنِ اَلمَنفوس )
4. perbedaan dalam taqdim dan ta’khir ( mendahulukan dan mengakhirkan ) yang adakalanya dalam huruf, seperti firman Allah dalam surat Qaf : 19, wajaa-at sakaratul haqqi bilhaqqi (وَجَاعَتْ سَكَرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقً ), dibaca wajaa-at sakaratul haqqi bil mauti.
5. Perbedaan segi I’rab. Seperti firman Allah dalam surat Yusuf : 31, maa haadzaa basyaran ( ماَهَذاَ بَشَرًأ). Juga dalam surat Al-Buruj : 15, dzuul ‘’arsyil majiidu (ذُواْلعَرْشِ الْمَجِيْدُ ) dibaca rafa’ sebagai na’at dari lafal dzuu, namun kadang juga dibaca jer “al-majiidi” sebagai sifat dari lafal al-‘arsy.
6. Perbedaan dalam ziadah dan naqash ( menambah dan mengurangi ). Seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Lail: 3, wamaa khalaqadz dzakara wal untsaa ( وَمَاخَلَقَ الذًكرَ وَاْلأَنْشَى ) dibaca wadz dzakara wal untsaa dengan membuang maa khalaqa.
7. Perbedaan lahjah ( dialek ) dengan tafkhim, tarqiq, imalah, izhar, idghom. Perbedaan seperti ini sangat banyak. Misalnya lafal Musa dalam firman Allah dalam surat Thaha: hal ataaka hadiitsu muusaa kadang dibaca imalah, tetapi boleh juga tidak.
d. Tujuh Huruf adalah wajah-wajah lafal yang berbeda dalam kalimat dan makna yang sama. Contoh: Lafal halumma, aqbil, ta’al, ‘ajal, isra’, qasdhi dan nahwi. Tujuh lafal itu maknanya sama, yaitu minta agar menghadap.
Pendapat ini juga dianggap benar oleh kebanyakan ulama fiqh dan hadits,antara lain Ibnu Jarir Ath-Thahawi serta ulama lain.

KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat saya simpulkan bahwa pengertian tujuh huruf adalah bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang satu arti. Dengan pengertian bahwa terjadinya perbedaan bahasa Arab dalam menta’birkan arti-arti yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan lafazh-lafazh menurut ukuran bahasa ini bagi satu arti.
Keberadaan ahruf as-saba’ah ( tujuh huruf ) sesungguhnya merupakan rahmat maupun kelonggaran dari Allah untuk umat ini. Hikmahnya sendiri yaitu, memudahkan bacaan dan hafalan, bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab, kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya.
Bangsa Arab mempunyai aneka ragam dialek (lahjah) yang timbul dari fitrah mereka. Setiap suku mempunyai format dialek yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lain. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa Quraish sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari keyataan diatas, sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy
Bahasa Rasul adalah bahasa Arab, karena itulah Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Wahyu diturunkan kepada Rasul dengan makna dan lafalnya, maka makna dan lafalnya adalah ciptaan Allah, Rasul mengucapkannya dengan bahasa dari Allah, dan menyampaikannya kepada manusia sebagaimana Allah menyampaikannya kepada Rasul, beliau melukiskannya sebagimana terlukis dalam fikiran dan hafalan, dan megucapkannya sebagaimana disampaikan oleh Allah, Allah mewahyukannya dan Rasul menerima seluruhnya dengan murni, Allah memancarkan wahyu dan menciptakan penjagaannya, maka pengucapan wahyu harus tunduk kepada Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Shalahuddin.2002. Ulumul Qur’an. Intimedia Ciptanusa. Jakarta.
Manna Khalil- Al, Qattan. 1996. Studi Ilmu Al-Qur’an. Litera Antarnusa. Jakarta
Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Pustaka Amani.
Quthan, Mana’ul. 1993. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. Rineka Cipta. Jakarta
Al-Ibyariy, Ibrahim. 1988. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. Rajawali Pers. Jakarta.
http://nulibya.wordpress.com
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-42.html

TASAWUF FALSAFI IBNU ’ARABI

PENDAHULUAN


Tasawuf falsafi tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam artian yang sesungguhnya karena teori-teorinya selalu ditemukan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada penyamaan antara Tuhan dengan Alam dalam hakikat. Tasawuf ini juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga dimasuki oleh unsur-unsur rasa ( zauq ).
Kala kita menghampiri karya pemikir visioner, penyair, filosof, teolog dan guru yang bijaksana nan agung, Ibnu ‘Arabi sebagaimana yang dilakukan disini antara posisi kepadatan ajaran filosofis dan kejelasan rasionalnya al-Farabi dan posisi kesegeraan dan kesederhanaan dari nasihat spiritualnya Ostad Elahi, beberapa karakteristik khas dari karyanya benar-benar akan kita manfaatkan. Untuk memulainya, hampir setiap penuturannya terekspresikan dalam beberapa bentuk interpretasi ( ta’wil ) personal yang unik perihal kanon resmi Islam, apakah Al-Qur’an atau al-Hadits, atau perihal para Muslim terdahulu dalam menafsirkan sumber-sumber wahyu itu.
Sebuah penafsiran untuk pastinya, dengan aspek-aspek yang berubah secara konstan dan beragam perspektif spiritual dan intelektual yang bersifat dan dari dulunya sangat unik dan tak bisa ditiru, dirancang untuk mengguncang, mengejutkan, membenturkan, membingungkan, dan mempesona para pembaca yang paling cerdik dan sarat bekal pengetahuan sekalipun. Kedua dan lagi memang berlaku untuk semua karyanya, tentunya termasuk keluasan samudera Pencerahan-pencerahan Mekkah yang menjadi perhatian kita disini, cara Ibnu ‘Arabi mengungkapkan ide-ide dan maksud-maksud esoteriknya amat berani, tidak segan-segan dan jitu. Maksud Ibnu ‘Arabi yang sesungguhnya dan makna-makna terdalamnya tersembunyi secara baik dan sarat simbol ( sama halnya dengan kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an sendiri ).


PEMBAHASAN


1. Ibnu Arabi ( Wafat 638 H/1240)

Nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah ath-Tha’I al-Haitami. Dia lahir pada tahun 560 H (1163 M) di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol. Dia lahir dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan. Pada usia delapan tahun, keluarganya pindah ke Sevilla di mana Ibnu ‘Arabi belajar Al-Qur’an, Al-Hadits dan fiqih pada sejumlah murid faqih terkenal Andalusia, Ibnu Hazm al-Zhahiri. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari, dan melanglang buana keberbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.
Di antara bukunya yang sangat terkenal adalah Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa kitab Al-Futuhat al-Makkiyah adalah imla’ dari Tuhan sedang Fushush al-Hikam adalah pemberian Rasulullah SAW. Mahmud ( dalam Jamil, 2004:109). Muhammad Yusuf Musa mengatakan bahwa kedua kitab Ibnu ‘Arabi ini adalah dua sumber utama bagi siapa saja yang mau mempelajari tasawuf Ibnu ‘Arabi.


2. Wahdat Al Wujud

Di antara ajaran terpenting dari Ibnu’ Arabi adalah wahdat al-wujud, yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq). Aspek dalam disebut Tuhan (al-haqq). Menurut faham ini, aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam ( Tuhan ) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut. Allah adalah hakikat alam sedangkan alam ini hanyalah bayangan dari wujud Tuhan. Karena itu menurut faham ini tidak ada perbedaan antara makhluk dengan Tuhan. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam, sedagkan hakikatnya sama. Faham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi, misalnya dapat dilihat dari perkataannya berikut :

”Mahasuci Tuhan yang telah menzahirkan segala sesuatu dan Dia adalah hakikat (ain) dari segala sesuatu itu”.

Ungkapan Ibnu ‘Arabi ini, disamping menunjukkan bahwa segala sesuatu bukan tercipta dari sesuatu yang tidak ada tetapi dari sesuatu yang ada, juga berarti bahwa semua yang ada ini wujudnya adalah satu dan apada hakikatnya wujud makhluq adalah wujud khaliq pula. Dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq dan makhluq maka itu karena dilihat dengan pandangan pancaindera lahir dan karena keterbatasan akal dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzatnya dari kesatuan dzatiyah, yang semua yang ada terhimpun pada-Nya.
Ibnu ‘Arabi di dalam syairnya juga mengatakan :

“Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba. Demi perasaanku, siapakah yang mukallaf. Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif”.

Ungkapan ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara hamba dan Tuhan. Perbedaan hanyalah pada ragam dalam penglihatan sedang hakikatnya satu. Dengan demikian, menurut Ibnu ‘Arabi bahwa wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat alam. Karena itulah, Amin ( dalam Jamil, 2004 : 110) menyimpulkan bahwa faham Ibnu ‘Arabi sebagai berikut : “ Dan tidaklah alam dalam bentuknya yang beraneka ragam ini, melainkan manifestasi wujud Allah Ta’ala”. Menurut Musa (dalam Jamil, 2004:110) bahwa kesimpulan ajaran aliran ini adalah sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud yang satu (Tuhan). Karena itu, Tuhan berwujud dalam berbagai bentuk, tetapi hal ini tidak mengharuskan berbilangnya wujud yang sebenarnya.
Dalam uraian filsafat, faham ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi sebagai berikut : “Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya, karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain….dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang apada esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tidak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya, bahkan ialah yang dalam esensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan…. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, tidak pada dirinya sendiri”. Nasution ( dalam Jamil,2004:111).
Dalam teori penciptaan, Ibnu ‘Arabi menganut faham tajalli atau tanazul ( menampakkan diri ). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi, bahwa Nur Muhammad ( haqiqah Muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari tahapan-tahapan tanazul zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud. Dari haqiqah Muhammadiyah inilah segala yang maujud dijadikan. Dengan demikian, penciptaan alam semesta ini termasuk manusia, dalam teori Ibnu ‘Arabi berasal dari Zat Tuhan sendiri kemudian ber tanazul kepada haqiqah Muhammadiyah sebagai tanazul tingkat pertama yang daripadanya melimpah wujud-wujud yang lain.
Ibnu ‘Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah yang tersembunyi menampakkan diri atau membuka diri. Jadi diumpamakan sebagai Allah bercermin, sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan, di mana Tuhan bisa melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya. Dengan teori tajalli ini berarti yang hakiki adalah Tuhan itu sendiri. Artinya wujud yang sebenarnya hanya tunggal (wahdat al-wujud), sedang alam hanyalah aspek luar atau bayang-bayang. Bukan yang hakiki. Proses penampakan Tuhan keluar dalam beberapa martabat dinamakan tanazul sedangkan proses kenaikan manusia kembali kepada Tuhan disebut taraqi.
Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa manusia adalah tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna, karena padanya tercermin alam semesta dan sifat-sifat ketuhanan. Menurutnya, manusia berbeda dengan segala sesuatu yang lain di mana meskipun Tuhan merupakan ‘ain segala sesuatu itu bukan ‘ain (zat)-Nya karena sesuatu itu hanya merupakan perwujudan sebagian asma-Nya, bukan Tuhan bertajalli pada sesuatu itu dalam bentuk zat-Nya. Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa Tuhan bertajalli dalam bentuk zat-Nya sendiri pada insan, yang disebut dengan ¬al-insan al-kamil. Al-insan al-kamil ini adalah Nur Muhammad atau al-haqiqah al-Muhammadiyah. Menurut Ibnu ‘Arabi, untuk mencapai tingkat al-insan al-kamil, seseorang mesti terlebih dahulu fana yakni hancur di dalam wujud Tuhan, di mana ia telah bersatu dengan-Nya, kemudian baqa’ dalam wujud Tuhan, semua adalah wujud Tuhan yang baqa’ ( kekal ).
Sebagai kesimpulan, Hamka ( dalam jamil, 2004:113) mengatakan :

“Jadi Ibnu ‘Arabi telah menegakkan faham serba Esa dan menolah faham serba dua. Segala sesuatu adalah atau hanyalah Satu. Tetapi dia berupa dalam bentuk yang berbagai-bagai atau berubah-ubah. Mirip dengan faham Phitagoras dalam dunia Filsafat, yang mengatakan “jiwa segala bilangan adalah satu”.

Ibnu ‘Arabi yakin bahwa umat manusia dan agama-agama yang tumbuh di tengah-tengah umat manusia itu adalah memiliki prinsip dasar yang sama yaitu menyembah kepada Allah Yang Maha Esa. Kitab-kitab suci Al-Qur’an, Zabur, Taurat dan Injil memiliki prinsip-prinsip ajaran dasar yang sama, sedang yang dituju adalah Yang Maha Esa itu. Perbedaan antara satu agama dengan agama lain hanyalah dalam lambang-lambang atau simbol-simbol yang ditonjolkan bagi masing-masing pengikut. Umat manusia dan Tuhan yang disembah adalah satu jua, kapan pun mereka hidup dan di manapun mereka berada.
Ibnu ‘Arabi boleh dihitung sampai di puncak faham wahdat al-wujud yang tumbuh di dalam pikiran ahli-ahli Tasawuf Islam. Dia telah menegakkan fahamnya dengan berdasar renungan fikir Filsafat dan Zauq Tasawuf. Meskipun karena takut ancaman orang awam, senantiasa dia berjalan berbelit-belit sehingga lantaran kesanggupannya mencari dan memilih kata, dan kefasihannya dan keahliannya menyusun karangan dapat menghanyutkan orang, hanya sedikit yang dapat mengetahui dasar pendiriannya.

3. Kesatuan Agama

Agama itu semuanya bagi Allah. Arif yang sejati memandang bahwasanya segala yang disembah itu hakikatnya adalah perlambang daripada yang sebenarnya disembah. Menyembah berhala atau yang lain, bahkan menghadapkan muka kepada ka’bah sendiripun, sama batal, kalau itu yang disembah. Sebab semuanya itu hanyalah perlambang. Sebaliknya, walaupun apa yang dijadikan perlambang, baik api, atau berhala, atau patung atau ka’bah, atau tidak ada apa-apa, asal tetap kepada Allah sendiri itulah dia agama. Ibadah yang sah ialah bila dipandang bahwa segala bentuk, segala rupa, segala yang nampak, dan segala apa saja, sebagai kenyataan dari hakikat yang Esa.
Sebagai orang Islam dia mengerjakan amalan Islam. Karena menuruti ijma’ ulama dia mengakui bahwa kiblat ialah Ka’bah. Tetapi dalam fahamnya sendiri menghadap kiblat bukanlah syarat sah shalat.
Faham Kesatuan Agama ini amat besar pengaruhnya. Jika dahulu oleh Al-Hallaj hanya sebagai pancaran perasaan, bagi Ibnu ‘Arabi adalah suatu filsafat pandangan hidup. Orang-orang yang mempercayai dan penuh Iman dalam agamanya, dengan sendirinya harus timbul rasa Kesatuan Agama itu dalam hatinya. Karena bila dikupas nama-nama yang lahir, sebagai Zat, dan Sifat yang disebut oleh orang Islam, maka itu jugalah hakikat dari Uknun yang tiga dalam ajaran Nasrani, Sang Bapa, Sang Putera dan Ruhul Kudus. Itulah pula hakikat dari nama Brahmana, Shiwa dan Wishnu dalam agama Hindu.
Demikianlah kira-kira ringkasan atau kupasan mudah dari dasar kepercayaan Persatuan Agama menurut Ibnu ‘Arabi itu. Apabila agama telah diiringkan oleh keluasan pengetahuan dan dihindarkan segala selubung fanatik dan taklid, lalu kembali kepada kemurnian fitrah insani, dengan sendirinya akan timbullah Kesatuan inti sari agama, walaupun tepat manusia tegak itu lain-lain.

4. Tingkat Daya Serap Spiritual

Ibnu ‘Arabi memaparkan manifestasi-manifestasi lainnya yang bisa ditangkap oleh “penglihatan batin” itu, yang ternyata juga dimiliki oleh individu-individu dengan tingkat inderawi dan kesadaran spiritual paling dasar sekalipun, di mana mereka pun bisa menyuguhkan contoh-contoh pengalaman dramatis mereka, mulai dari mimpi-mimpi dan intuisi-intuisi spiritual hingga kesemua manifestasi dari apa yang dijelaskan Ibnu ‘Arabi disana-sini sebagai pengakuan terdalam terhadap semua eksistensi.
Bentuk daya serap spiritual berikutnya yang disebutkan Ibnu ‘Arabi diawali dengan sebuah ayat Al-Qur’an yang terkenal yang biasanya difahami sebagai dasar memperbincangkan bentuk-bentuk teofani tertinggi dan paling langka, yaitu ilustrasi-ilustrasi perihal setiap Nabi. Tetapi dalam hal ini, dia cepat-cepat menjelaskan bahwa perhatian utamanya adalah ‘Hijab’ ( selubung/penutup) serta penyingkapan dan inspirasi-inspirasi yang sesuai yang jauh lebih akrab dan umum bagi masing-masing dari kita ketimbang yang kita akui.
Tataran ketiga dari daya serap spiritual yang diperkenalkan di sini dijelaskan dalam istilah-istilah sedemikian sehingga setiap orang yang pernah membuat apapun, apakah itu karya seni ataukah performa lainnya, dengan segera mengenali jenis inspirasi yang dijelaskan Ibnu ‘Arabi.


KESIMPULAN

Di antara ajaran terpenting dari Ibnu’ Arabi adalah wahdat al-wujud, yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam.
Dalam uraian filsafat, faham ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi sebagai berikut : “Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya, karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain
Dasar kepercayaan Persatuan Agama menurut Ibnu ‘Arabi itu. Apabila agama telah diiringkan oleh keluasan pengetahuan dan dihindarkan segala selubung fanatik dan taklid, lalu kembali kepada kemurnian fitrah insani, dengan sendirinya akan timbullah Kesatuan inti sari agama, walaupun tepat manusia tegak itu lain-lain.
Ibnu ‘Arabi memaparkan manifestasi-manifestasi lainnya yang bisa ditangkap oleh “penglihatan batin” itu, yang ternyata juga dimiliki oleh individu-individu dengan tingkat inderawi dan kesadaran spiritual paling dasar sekalipun, di mana mereka pun bisa menyuguhkan contoh-contoh pengalaman dramatis mereka, mulai dari mimpi-mimpi dan intuisi-intuisi spiritual hingga kesemua manifestasi dari apa yang dijelaskan Ibnu


DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1952. Perkembangan Tasauf. Jakarta : Putaka Keluarga
Jamil. 2004. Cakrawala Tasawuf. Ciputat : Gaung Persada Press
Mansur, Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Morris, James Winston. 2002. Sufi-Sufi Merajut Peradaban. Jakarta : Forum Sebangsa.
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak tasawuf. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Kamis, 15 Oktober 2009

Mujahid ku

Mujahidku…

Bisa jadi aku tidak mengenalmu sebelumnya, walaupun itu sekedar nama. Aku tak tahu siapa dirimu, dari mana asalmu, seperti apa wajahmu, seperti apa suaramu.. Oh Mujahidku..aku hanya berharap kepada Allah saja, Agar IA menjagamu, dari godaan – godaan setan, semoga Alloh menjaga “Iffah”mu.

Mujahidku….ku ingin suatu saat nanti.. kita dipertemukan disaat yang tepat, disaat kita benar – benar saling dipertemukan.

Mujahidku…ku mau engkau nikahi aku… hanya karena Allah semata, kan ku tanggung segala resiko dan konsekuensi , kan kubangun bersamamu rumah tangga yang islami, aku akan menjadi ma’mum yang setia , semoga.

Mujahidku…

Ku ingin suatu saat nanti kita bisa saling menerima satu sama lainnya, menerima kelebihan dan kekurangan dari masing – masing diri kita. Dan suatu saat nanti kan kusulamkan sutra cinta untukmu.

Ya Allah ya Robbi..sudah akan tibakah.. seorang mujahid sejati, untuk menjadi pendamping hidupku.. Ya Allah jika sudah ada, jadikan ia laki – laki sholeh yang bisa membawaku untuk lebih mendekat pada – Mu. …untuk menyemai cinta di jalan Mu…untuk bersama – sama berjuang menegakkan Syariat Mu.

Ya Allah… ku mohon pada Mu… jadikan ia Qowwam rumah tangga yang bijaksana, jadikan ia hakim yang adil dalam permasalahan – permasalahan hamba, jadikan ia pemimpin yang arif, jadikan ia sahabat saat aku ingin curhat,jadikan ia guru saat aku haus ilmu, jadikan ia kekasih saat aku ingin… (ehem…). Jadikan ia seorang Murobbi saat aku butuh taujih dan saran, jadikan ia seorang kakak yang bisa aku pinta bantuannya. Jadikan ia ayah yang senantiasa mendukung kegiatan – kegiatan ku, yang selalu memberiku semangangat super seribu.

Ya Allah… jadikan ia orang yang sederhana, qona’ah, arif, bijaksana, penyabar, penyayang, cerdas, sholih, taat beribadah dan jadikan ia pengantarku ke syurga.. serta jadikan aku bidadari tercantik untuknya di dunia dan diakherat … Amin.



Teruntuk mujahid impianku…

kelak kan ku semai cinta bersamamu

By:Ummulhidayah, Komunitas Dudung.net

Rabu, 14 Oktober 2009

Hantarkan Aku ke Sana

Gejolak yang membuncah memenuhi dada ini…
Bersama asa yang rindu mendalam…
Dari hamba yang berlumur dosa dan kealpaan…
Berharap dapat bersua dengan-Mu…
Wahai Rabbul`alamiin…

Dengan taubat ku berharap…
Kuatkan jiwa ini mendatanginya…
Kokohkan langkah kaki ini menempuhnya…
Azzamkan niat ini dalam mencapainya…
Ikhlaskan hati ini menjalaninya…

Aku rindu…aku rindu…aku rindu…
Rindu berjumpa dengan-Mu dalam SYAHADAH…
Rindu bersua dengan-Mu dalam IMAN…
Rindu bersama-Mu dalam TAUHID…
Rindu indahnya hidup dalam naungan ridha-Mu…
Syari`at ISLAM…Daulah ISLAM…Khilafah ISLAM

Duhai Alloh yang tiada sekutu bagi-Mu…
Hantarkanlah kerinduanku ini…
Mudahkanlah…
Lapangkanlah…
Tuk raih cita-cita…
KEMULIAAN HIDUP DALAM ISLAM, ATAU
KESYAHIDAN DALAM PERJUANGAN

Aku berharap termasuk yang Kau hantarkan….
Ridhai dan kabulkanlah…
Amien ya Alloh, ya Rabbal`alamiin…

Makalah Ushul Fiqh

PEMBAHASAN


1. Al-Mashlahah Al-Mursalah

Al-mashlahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-mashlahah al-mursalah. Tujuan utama al-mashlahah al-mursalah adalah kemashlahatan, yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.
Menurut para ulama ushul, sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah itu dengan kata al-munasib al-mursal. Ada pula yang menggunakan ¬al-istislah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
a. Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan.
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditunjukkan bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.

Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah al-mashlahah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi yang kedua, dipakai istilah ¬al-munasib al-mursal. Untuk segi yang ketiga dipakai istilah al-istishlah.
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al-mashlahah al-mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.

a. Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para Ulama dalam Al-Mashlahah Al-Mursalah
Beberapa pendapat ulama dalam kitab Ushul tentang al-mashlahah al-mursalah :
1. Al-Amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, IV : 140, ”Para ulama dari golongan Syafi’i, Hanafi telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali Imam Malik.
2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut mursal. Akan tetapi kalau gharib atau ada pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat. Adapun bila dalilnya sesuai, maka Imam Al-Ghazali memakainya, dia menerimanya dari Asy-Syafi’i dan Malik. Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.
3. Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Istifham, II : 111-112 : Pendapat tentang adanya mashlahah mursalah itu telah diperdebatkan di kalangan para ulama, yang dapat dibagi dalam empat pendapat :
1) Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya.
2) Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.
3) Imam Asy-Syafi’i dan para pembesar golongan Hanafiyah memakai al-mashlahah al-mursalah dengan permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya sahih. Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang sahih.
4) Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsin atau tajayyun ( perbaikan ), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih jelas.
Dengan melihat beberapa pendapat ulama di atas jelaslah bahwa hanya Imam Malik yang menerima istishlah secara mutlak.

b. Penerimaan Imam Abu Hanifah terhadap Al-Mashlahah Al-Mursalah
Abdul Wahaf Khalaf berkata dalam kitab Mashadiru At-Tasyri’ Al-Islamy hal 89 : “ Pendapat yang masyhur yang tertulis dalam berbagai kitab adalah Abu Hanifah tidak memakai istishlah dan tidak menganggapnya sebagai dalil syara’. Hal itu didasarkan pada berbagai tinjauan :
1. Para ahli fiqih Irak dalam muqaddimahnya berkata bahwa hukum syara’ itu mengandung maksud kemashlahatan tersebut. Pendapat yang lebih jauh lagi bahwa para pemimpin fiqih Irak tidak menggunakan istishlah, seperti Ibrahim An-Nakha’I, dia tidak menggunakan istishlah, tetapi senantiasa berhujjah untuk kemaslahatan. Mereka termasuk yang mendahulukan qiyas dan menjaga kemaslahatan.
2. Mereka hanya memakai istihsan dan tidak menggunakan istishlah, dan menganggap bahwa istishlah itu bagian dari istihsan yang bersandarkan pada adat, kepentingan, dan kemaslahatan. Namun, bila mereka dikatakan berhujjah dengan istishlah, mereka tidak mengakuinya dan hanya menganggap bahwa mereka telah berdalil dengan istihsan dan ‘urf.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa para ulama telah mengeluarkan berbagai istinbath hukum dengan cara istishlah yang sama artinya dengan istihsan menurut Imam Abu Hanifah.
Adapun penggunaan ‘urf khususnya di kalangan Hanafiyah lebih luas dibanding istishlah terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya. Hal itu tentunya bebas bagi tiap-tiap daerah dalam kehidupannya dengan maksud untuk mencapai kemashlahatan hidup mereka. Tak heran kalau banyak hukum yang didasarkan pada ‘urf menurut Hanafiyah sebenarnya sama dengan istishlah menurut ulama lainnya.

2. Dzari’ah

a. Pengertian Dzari’ah
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “Jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah ( yang dilarang ) dan fath Adz-dzari’ah ( yang dianjurkan ).

b. Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian sadd Adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi ( dalam Syafe’i, 2007 : 132 ) adalah :

التوصل بماهومصلحةالئ مفسدة
Artinya : Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan ( kemafsadatan ).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu :
1) Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
2) Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan.
3) Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.

c. Macam-macam Dzari’ah
a. Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Asy Syatibi, dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam :
a) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.
b) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
c) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan .
d) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan.
b. Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ( dalam Syafe’i, 2007:135 ), pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut :
a) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan.
b) Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak.



d. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Dalil sadd adz-dzari’ah dapat juga diterapkan terhadap segala sesuatu yang dianggap dapat membahayakan agama dan masyarakat banyak secara umum Sebagai contoh, diharamkannya perkawinan beda agama yang dikhawatirkan dapat merusak akidah isteri atau anak-anaknya kelak. Dan dengan dalil inipun dapat digunakan pemerintah untuk melarang penjualan bebas alat kontrasepsi untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan, peredaran buku porno, film cabul, penutupan panti pijat yang pekerjanya wanita, dan bayi tabung dari suami istri yang normal atau dari sperma suami yang telah meninggal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan motif-motif tertentu.
Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’ :
Alasan mereka antara lain :
a) Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am : 108 :
             
Artinya : “Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
b) Hadis Rasulullah SAW. antara lain yang artinya “ Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibudan bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang memncaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya”. ( HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud ).
Perbedaan pendapat antara ulama ushul dengan Malikiyah dan Hanabilah dalam berhujjah dengan sadd adz-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut ulama Malikiyah dan hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja.

e. Fath Adz-Dzari’ah
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Imam Al –Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu adakalanya dilarang yang disebut sadd adz-dzari’ah, dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah ( pendahuluan ) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah :
مالايتم ا لواجب الابه فهوواجب
Artinya :”Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib. “

Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah :
ما دلءلئ حرام فهو حرام
Artinya : “Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan”.

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan hanabilah dapat menerima sebagai fath adz-dzari’ah, sedangkan ulama yang lain menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. ( Aj-Juhaili:874)



KESIMPULAN


Al-mashlahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
a. Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan.
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditunjukkan bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “Jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan.
Adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.

Makalah Fiqih

MUKADDIMAH

Secara kebahasaan ( etimologis ), nikah memiliki makna Ad-Dlomm wa Al-jamu’u, yang berarti “berkumpul dan menjadi satu”. Redaksi kata nikah suatu kali juga dipakai untuk merujuk pada makna “persetubuhan” dan atau “transaksi “ secara umum. Oleh syariat, lafazh nikah kemudian diberi muatan makna sedemikian rupa sehingga ia kini berarti “akad atau transaksi tertentu yang berkaitan dengan peristiwa menikahkan”. Pernikahan, yang pada tempat lain juga disebut dengan perkawinan, adalah suatu akad yang mengkolaborasi pembolehan untuk bersenang-senang dengan perempuan, melalui beberapa cara semisal wathi alias bersetubuh, mencium, memegang, menggauli dan lain-lain bentuk perhubungan yang hanya mungkin dilakukan oleh suami istri. Hanya saja, wanita tersebut harus bukan wanita yang diharamkan (mahram) oleh sebab terdapat ikatan lain seperti ikatan keturunan (nasab), persusuan (radla’) dan kekerabatan (shahr). Perkawinan juga boleh dipahami sebagai suatu akad tertentu yang ditetapkan oleh syariat untuk memberikan legalitas kepemilikan dalam melakukan (istimta’) bagi pihak laki-laki, dan legalitas kehalalan untuk melakukan istimta’ untuk pihak perempuan.
Pada defenisi ini, terdapat semacam perbedaan, dan bukan kesenjangan, berkaitan dengan hak-hak yang didapatkan oleh suami istri dari setiap lembaga sosial yang bernama perkawinan itu. Hak seorang suami adalah “kepemilikan istimta’” dan sebaliknya. Hal penting yang bisa kita tarik dari kenyataan tersebut adalah bahwa seorang istri merupakan hak milik khusus bagi suaminya, dan karena itulah hak istimta’ terhadap seorang istri mutlak menjadi hak prerogatif suaminya, bukan haknya laki-laki lain. Sementara itu, bagi seorang istri perkawinan hanya berarti penghalalan untuk melakukan istimta’ yang sebelum itu diharamkan baginya. Karena hak seorang suami adalah hak kepemilikan, maka lantas dia oleh syariat diperbolehkan untuk beristri lebih dari satu (poligami). Dan karena hak seorang istri terbatas pada penghalalan istimta’, maka tidak ada ceritanya syariat memperbolehkan perempuan menikah dengan banyak pria (poliandri).
Lalu timbul pertanyaan, secara spesifik, apakah yang sebenarnya dikehendaki syariat terhadap institusi pernikahan? Dalam pola pikir syariat, pernikahan dimaknai sebagai apa, sekedar persetubuhankah atau suatu akad dan transaksi tertentu?
Para ahli di bidang Ushul Fiqh dan Bahasa Arab menyebutkan bahwa pengertian nikah secara denotatif adalah persetubuhan, sedangkan pemakaian kata tersebut untuk pengertian akad hanyalah sebagai makna konotatif belaka. Ini dipakai misalnya dalam ayat, “Wa la tankihuu ma nakaha aba’ukum minan nisa’I”. mengikuti alur pemikiran para Ahli Ushul Fiqh dan Ahli Bahasa, ayat tersebut bermakna “Janganlah kalian menyetubuhi perempuan-perempuan yang telah disetubuhi ayah-ayah kalian”.
Lain halnya dengan pandangan para Ahli Fiqh, terutama pandangan dari para pemuka madzhab empat. Bagi mereka, makna denotatif dari kata nikah adalah Akad atau Transaksi tertentu, yang biasa kita sebut dengan akad nikah. Az-Zamakhsari, pembesar madzhab Hanafi, misalnya menyebutkan bahwa tidak satupun kata nikah di dalam al-Qur’an yang berarti persetubuhan kecuali dalam ayat “Hatta tankiha zawjan ghairahu”. Dengan demikian syariat dalam arti hukum islam atau fiqh islam, secara spesifik menghendaki makna nikah dalam kapasitasnya sebagai sebuah akad.
Ketentuan pernikahan sendiri diperoleh dari tiga dalil syariat secara sekaligus, dari Al-Qur’an, Sunah maupun Ijma’. Di dalam Al-Qur’an disebutkan “Fankihuu ma thaba lakum minan nisa’I matsna wa tsulatsa wa ruba”. Sementara itu, Nabi juga bersabda yang artinya “Wahai para pemuda, siapapun dari kalian yang memiliki kemampuan untuk berumah tangga, segeralah menikah! Karena dengan pernikahan, mata dan kemaluan kalian akan terjaga. Dan barang siapa merasa belum berkemampuan , berpuasalah! Karena di sanal;ah media menjauhkan diri dari maksiat”. (HR. Bukhari Muslim)
Kendatipun begitu, syariat melihat bahwa kategori hukum yang berlaku dalam setiap proses pernikahan bisa jadi berlainan antara satu pribadi dengan pribadi yang lain, tergantung pada kondisi individual dari pelaku pernikahan itu sendiri. Ia mungkin berhukum wajib, mungkin sunnah bahkan mungkin saja haram.
Ala kulli hal, terlepas dari pro dan kontra berkaitan dengan hukum, di dalam pernikahan sendiri sebenarnya terkandung banyak hikmah. Diantaranya adalah, menjauhkan diri dari keharaman zina, mempertahankan ras manusia, meneruskan keturunan, mencegah terputusnya nasab, membangun ikatan keluarga yang notabenenya adalah ikatan terkecil dalam konteks sosial masyarakat, mewujudkan sikap saling tolong menolong diantara kedua belah pihak suami istri, dan lain sebagainya.
PERNIKAHAN

A. Pengertian Nikah
1. Menurut bahasa; berkumpul atau bersetubuh
2. Menurut istilah syara’
Akad yang menghalalkan hubungan suami istri dengan lafazh nikah, kawin atau tazwij atau arti dari keduanya.
3. Menurut Undang-undang pernikahan
Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dalam sebuah rumah tangga berdasarkan tuntutan agama.
Pernikahan nikah menurut syara’ sudah jelas bahwa pelaksanaan nikah sepenuhnya tergantung pada peraturan agama. Adapun pengertian nikah menurut UU perkawinan, pencatatannya dapat dilakukan di kantor sipil, sedangkan pelaksanaan nikah menurut agama yang dianutnya. Bila tidak dilakukan menurut aturan agama yang dianutnya, maka perkawinan dianggap tidak sah menurut UU perkawinan.
B. Anjuran Nikah
Islam sangat menganjurkan nikah karena nikah adalah kebutuhan primer agar terhindar dari kemaksiatan dan menciptakan rasa aman, tentram secara penuh dengan rasa kasih sayang dalam keluarga.



1. Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 :
            ••   •      
Artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya. Dia telah menjadikan dari dirimu sendiri pasangan kamu, agar kamu hidup tenang bersamanya dan Dia jadikan rasa kasih sayang sesama kamu. Sesungguhnya dalam hal itu menjadi pelajaran bagi kaum yang berpikir.
2. Diantara kaum muslimin ada yang takut menikah dikarenakan takut memikul beban rumah tangga yang demikian berat. Bagi mereka yang mempunyai perasaan seperti itu Allah memberikan suatu motivasi yaitu akan ada jalan untuk mengatasi kesulitan dan kemiskinan, sebagaimana firman Allah SWT :
                   
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Megetahui”. ( QS. A-Nur : 32 )
3. Istri yang shalehah merupakan kekayaan terbaik.
Dalam hadits Rasulullah bersabda :
الدنئامتاعوحئرمتاءهاالراةالصالحة (رواه مسلم)
Artinya : Dunia itu laksana perhiasan dan sebaik-baik perhiasaan adalah wanita shalehah. ( HR. Muslim )
C. Hukum Nikah
1. Wajib
Bagi yang sudah ada keinginan, dan ada kemampuan membiayai perkawinan dan rumah tangga, sedangkan bila tidak menikah dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan.
Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3 :
                              
Artinya : Maka nikahilah wanita yang baik bagimu, dua,tiga, atau empat, maka jika kamu khawatir akan tidak berlaku adil, maka cukuplah satu saja.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Artinya : “ Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu (menanggung) biaya, maka nikahilah, karena sesungguhnya nikah itu dapat menjaga pandangan mata (pada maksiat) dan dapat memelihara kehormatan, dan barang siapa tidak sanggup hendaklah berpuasa karena berpuasa itu dapat melemahkan syahwat. ( Muttafaq Alaih ).
2. Sunnah
Bagi yang sudah ada keinginan, ada kemampuan tetapi ia masih sanggup memelihara diri dari berbuat zina. Nikah baginya lebih baik daripada menahan diri seperti pendeta. Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Said bin Abi Waqosh bahwa Rasulullah SAW. Bersabda :
ان الله ابدلنابالرهبانئةا لحنفئةالسمحة ( رالطبرانى)
Artinya : “ Sesungguhnya Allah SWT menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita”.
3. Haram
Bagi yang tidak ada kemampuan memberikan nafkah lahir dan batin, serta nafsunya tidak mendesak atau bila perkawinan ini akan mendatangkan penderitaan dan teraniaya istri.
4. Makruh
Bagi yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberi nafkah lahir dan batin walaupun tidak merugikan istri.
5. Mubah
Bagi yang terdesak oleh alasan yang mawajibkan segera menikah atau alasan yang megharamkan nikah.
D. Tujuan Nikah
Tujuan menikah mempunyai sasaran yang mulia yaitu terbentuknya suatu perilaku yang terpuji baik secara individu keluarga maupun masyarakat.
Secara rinci tujuan nikah adalah :
1. Memenuhi kebutuhan seks ( Syahwat )
Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan naluri yang demikian kuat, kalau naluri seks ini tidak ada jalan keluarnya akan menimbulkan masalah serius. Individu akan mencari pemuasan naluri seks dengan cara masing-masing. Oleh karena itu Allah menetapkan pernikahan sebagai pemenuhan kebutuhan umat-Nya, agar tercipta rumah tangga dan masyarakat yang tentram dan penuh kasih sayang.
2. Memelihara keturunan
Tanpa pernikahan akan terjadi kesulitan pengembangan keturunan , karena beban memelihara, membesarkan dan mendidik anak akan bertumpu pada istri semata, sedangkan laki-laki berpangku tangan, akibatnya suatu ketika perempuan tidak mau lagi melahirkan anak.
3. Menyambung silaturahmi
Pernikahan merupakan suatu sarana yang sangat baik guna menyambung silaturahmi antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya, atau untuk merekatkan hubungan kekeluargaan yang hubungannya sudah jauh.
E. Persiapan Nikah
1. Melamar
a. Memilih Istri
Islam menganjurkan agar memilih istri yang shalehah yang merupakan sebaik-baiknya perhiasan. Adapun yang dimaksudkan dengan istri yang shalehah adalah yang mentaati agama dengan baik, memperhatikan hak-hak suami serta memelihara anak-anaknya dengan baik. Rasulullah bersabda : “ Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, karena kecantikannya dan agamanya. Tetapi pilihlah yang beragama agar selamatlah kamu ( HR. Bukhari dan Muslim ).
b. Memilih Suami
Kepada wali dalam memilihkan calon suami bagi anaknya, atau anak itu yang akan memilih calon suaminya, hendaknya diperhatikan bahwa calon suami adalah laki-laki yang taat melaksanakan agama, berakhlak mulia serta keturunan orang baik-baik. Bila norma ini ditaati niscaya dia akan dapat menggaulinya dengan baik, dan kalau menceraikan, maka dia aka menceraikan dengan baik pula.
c. Melamar
Melamar ialah seorang laki-laki meminta kepada seseorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang sudah berlaku dalam masyarakat. Meminang merupakan usaha pendahuluan dalam rangka pernikahan.
Perempuan yang boleh dipinang :
- Perempuan yang tidak ada halangan hukum yang mencegah sahnya nikah.
Perempuan yang tidak boleh di lamar :
- Yang sudah bersuami
- Yang dalam masa Iddah
- Yang termasuk mahram
- Yang sudah dipinang orang lain.
2. Rukun dan Syarat Nikah
Pernikahan dianggap sah bila memenuhi rukun dan syarat menurut agama. Rukun nikah ada lima :
a. Pengantin laki-laki
Syaratnya, beragama Islam, tidak dipaksa, bukan mahram, tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh.
b. Pengantin perempuan
Syaratnya :
- Beragama Islam
- Bukan mahram
- Tidak sedang melakukan ibadah haji atau umroh
c. Wali
Syaratnya :
- Beragama Islam
- Baligh
- Berakal sehat
- Adil
- Laki-laki
- Mempunyai hak mejadi wali
d. Dua orang saksi
Syaratnya :
- Beragama Islam
- Baligh
- Berakal sehat
- Adil
- Laki-laki
- Mengerti maksud akad nikah
e. Ijab Kabul
Syaratnya :
- Lafadz yang dipakai dalam ijab kabul adalah kata : nikah, zawaj, atau kawin.
- Ada persesuaian antara ijab dan kabul
- Berturut-turut atau bersambung antara ijab dan kabul.
- Tidak memakai syarat yang dapat menghalangi kelangsungan pernikahan.
f. Mahar atau mas kawin
Yang dimaksud mahar atau mas kawin ialah pemberian seorang laki-laki kepada seorang perempuan disebabkan terjadinya perikahan diantara keduanya. Pemberian ini hukumnya wajib bagi laki-laki, tetapi tidak termasuk rukun nikah, sehingga jika tidak disebutkan sewaktu akad nikah maka perkawinan tetap sah.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 4 :
    
Artinya : Berikanlah mahar kepada perempuan ( yang kau nikahi ) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.
1. Macam dan ukuran mas kawin
Mas kawin tidak terbatas macam dan ukurannya, mas kawin dapat berupa :
a. Benda
b. Uang
c. Jasa
2. Ukuran mas kawin
Besarnya mas kawin tidak ada batasnya, berapapun besarnya boleh saja, ukuran kecilpun tidak ada batasnya, minimal suatu yang bermanfaat.
Abu Daud Meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
نزوج ولوحناتم من حدئد ( رواه ابوداود)
Artinya : Nikahlah kamu meskipun dengan ( mas kawin ) sebuah cincin dari besi.
g. Hak dan Kewajiban suami istri
1) Kewajiban suami terhadap istri
a. Membayar mas kawin
b. Memberikan nafkah secukupnya yang berupa sandang, pangan dan papan. Ukuran besarnya nafkah tergantung pada kemampuan suami bukan tergantung kebutuhan istri.
c. Menggauli istri sebagaimana mestinya dengan baik dan penuh kasih sayang.
d. Melindungi dan membimbing keluarga kearah yang benar.
2) Kewajiban istri terhadap suaminya
a. Taat dan patuh terhadap suami
b. Menjaga diri, kehormatan dan rumah tangga.
c. Bersyukur atas nafkah yang diberikan suaminya dengan cara mengatur dan menggunakan dengan sebaik-baiknya.
d. Membantu suami dalam mengatur rumah tangga agar tercapai kesejahteraan lahir dan batin.
3) Kewajiban bersama suami dan istri.
a. Mendidik putra-putri dengan sebaik-baiknya, agar terwujud rumah tangga yang aman, damai, penuh kasih sayangserta mencari ridha Allah SWT.
b. Berbakti kepada kedua orang tua kedua belah pihak serta menjalin silaturahmi dengan semua anggota keluarganya.
c. Serta saling menutupi rahasia rumah tangga agar keluarga tetap utuh.
d. Saling membantu dalam suka maupun duka.
F. Hikmah Nikah
1. Memenuhi kebutuhan seks
Pernikahan merupakan satu-satunya jalan keluar yang paling tepat guna memenuhi kebutuhan tersebut.
2. Memelihara kesucian keturunan
Pada zaman sekarang ini banyak anak-anak yang mempunyai ibu tetapi tidak mempunyai bapak, bahkan ada yang tidak tahu ibu dan bapaknya.
3. Memupuk naluri kebapakan dan keibuan
Semua manusia secara fitrah sudah mempunyai naluri kebapakan dan keibuan, bagi mereka yang sudah menikah naluri tersebut akan tumbuh dan berkembang sehingga dapat mendatangkan ketenangan, ketentraman baik batin ayah, ibu maupun anak.
4. Menyambung silaturahmi
Hubungan famili yang sudah jauh dapat dieratkan kembali dengan adanya pernikah
G. Macam-macam Nikah
1. Nikah syighar
Adalah seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepadanya, baik ketika adanya maskawin maupun tanpa maskawin dalam kedua pernikahan tersebut. Para ulama telah sepakat mengharamkan nikah syighar, hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai keabsahan nikah syighar.
2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang laki-laki (perantara) yang menikahi seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya sebanyak tiga kali, (setelah menikahi) kemudian menceraikannya dengan tujuan agar suami yang pertama dapat menikahinya kembali.
3. Nikah Mut’ah
Adalah seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan untuk waktu tertentu sehari, dua hari atau lebih dengan memberikan imbalan kepada pihak perempuan berupa harta atau lainnya.
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam kemudian dihapus oleh Allah melalui sabda Nabi shallallahu alayhi wasalam dan beliau telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kaiamat.
4. Nikah Sirri
Pernikahan yang tidak diketahui oleh siapapun dan tidak ada wali dari wanita. Pada hakikatnya ini adalah zina karena tidak memenuhi syarat sahnya nikah.
Al-qur’an dan hadits telah menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya nikah adalah adanya wali. Pernikahan ini tidak sah dan harus dibatalkan.


KESIMPULAN
1. Nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan suami istri.
2. Hukum nikah ada empat yaitu sunat, haram, wajib dan makruh
3. Tujuan nikah :
a. Memelihara kebutuhan seks
b. Memelihara keturunan
c. Menyambung silaturahmi
4. Melamar
a. Memilih istri sesuai dengan keinginannya
b. Wanita dipilih berdasarkan : Kecantikan, kekayaan, keturunan dan agama
5. Rukun nikah ada lima yaitu : Suami, istri, akad, wali dan saksi
6. Kewajiban suami yaitu membayar mahar, memberi nafkah, menggauli istri dengan baik serta menjaga dan membimbing istri. Sedangkan kewajiban istri yaitu taat, menjaga diri, mensyukuri nafkah dan membantu suami. Kewajiban bersama yaitu mendidik anak, berbakti kepada orang tua, setia dan saling bantu.
7. Mahar merupakan pemberian yang wajib dari suami pada istri setelah akad nikah. Macam mahar bisa berupa uangm benda dan jasa serta ukurannya tidak terbatas.
8. Macam-macam nikah yaitu nikah syighar, nikah muhallil, nikah mut’ah dan nikah sirri.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2002. Buku Pelajaran Fiqih untuk Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
Kamal, Abu malik. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka Azzam
Sabiq, Sayyid. 1990. Fikih Sunnah jilid 6. Bandung: PT. Al-Ma’arif

Hadits Malu Sebagian dari Iman

PENDAHULUAN

Semua agama samawi, sama-sama mengajak pemeluknya untuk berkeyakinan dengan akidah yang mengakui ke-Esa-an Allah swt. dan mementingkan dasar-dasar pokok yang umum berkenaan dengan perbuatan-perbuatan manusia yang mulia. Semua agama yang dibawa oleh para rasul utusan Allah swt. sepakat dalam hal-hal yang pokok dan inti karena sumbernya satu, meskipun cara beribadahnya berbeda dan ciri-cirinya tidak sama.
Salah satu akhlak baik yang dianjurkan, bahkan harus dimiliki oleh semua rasul ( semua agama yang mereka bawa ) adalah sifat malu. Sifat ini merupakan cabang keimanan yang paling penting, sehingga jika ada suatu jiwa yang tidak mempunyai sifat malu, maka lepaslah segala sifat baik dan mulianya. Bahkan, lepas pulalah nilai kemanusiaannya, sebab seperti yang dikataka para nabi ( sejak nabi yang pertama dan nabi yang terakhir ), bahwa sabda nabi yang paling pertama dan paling pokok adalah, “ Jika kamu tidak malu,maka lakukanlah apa maumu”. Sabda para nabi ini, kemudian diwarisi oleh manusia-manusia yang mempunyai pribadi dan akhlak baik, generasi demi generasi, sebagai kata-kata mutiara yang selalu didengungkan dan diperingatkan mereka kepada teman-temannya.











PEMBAHASAN

A. Pengertian Sifat Malu

Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang terjadi pada jiwa manusia karena takut dicela. Sedangkan menurut istilah adalah aklak yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah.
Al Hayaa-u ‘malu’ ialah menahan jiwa dari perbuatan yang jelek, dan mual ( jijik ) apabila melakukan perbuatan yang akan dicela. Rasa malu merupakan ciri yang paling tepat dan jelas untuk hidup dan naluri yang ( dhamir ) baik, serta perasaan yang halus. Barang siapa yang menjadikan al-haya sebagai akhlaknya yang paling pokok, maka orang itu akan terjaga dari perbuatan yang buruk dan hal-hal yang hina. Jika jiwanya merasa jijik untuk melakukan yag buruk, maka dia akan menjauhi dan berpaling darinya. Dengan demikian, sifat malu merupakan sifat yang paling utama dan paling agung, dan seseorang yang diberi sifat atau pribadi pemalu, maka sesungguhnya dia telah mempunyai segala kebaikan.

B. Malu itu Bagian dari Iman


Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr Anshari al Badri r.a. megatakan bahwa Rasulullah saw. Bersabda,”Perkataan (sabda Nabi paling pertama yang dikenal atau diketahui manusia adalah,”Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah semaumu.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Ahmad ).

Pemahaman Hadits :
1. Dari warisan para nabi : Malu adalah akhlak asasi yang mulia, pendorong yang kuat untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Oleh karena itu, warisan para nabi yang terdahulu yang belum dihapus hukumnya dari syariat mereka, diberlakukan diantara sesama manusia, diwariskan para rasul dari generasi kegenerasi, termasyhur dan dipegang teguh oleh manusia sampai datangnya generasi awal dari umat Islam adalah sifat malu.
2. Makna hadits, terdapat penjelasan dari tiga ulama besar mengenai hadits ini :
a. Perintah yang bermakna ancaman, seakan Nabi SAW bersabda, “Jika kamu tidak punya malu, maka lakukanlah apa yang kamu suka, karena Allah akan membalasmu dengan balasan yang sangat keras.” Ungkapan semacam ini juga terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu ketika Al-Qur’an berkata kepada orang kafir “Kerjakanlah apa yang kamu sukai”.
b. Perintah yang bermakna berita, sebagaimana sabdanya, “Maka bersiaplah tempat duduknya di neraka.” Dengan demikian, makna hadits ini ialah sesungguhnya orang yang tidak mempunyai rasa malu akan mengerjakan apa yang dia kehendaki, karena yang menghalangi dari perbuatan-perbuatan buruk adalah rasa malu. Maka, barangsiapa yang tidak punya malu, ia akan terjerumus ke dalam perbuatan keji dan munkar.
c. Perintah yang bermakna pembolehan, sehingga artinya adalah jika kamu tidak merasa malu untuk melakukan sesuatu karena merasa aman dari Allah dan dari manusia, maka lakukanlah, karena hal itu adalah perbuatan yang mubah. sebab, pekerjaan jika tidak dilarang oleh syariat adalah mubah ( boleh ).
3. Malu itu ada dua macam :
a. Malu kepada Allah. Ketahuilah sesungguhnya celaan Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah SWT. itu di atas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah SWT. Orang-orang yang terpuji adalah orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah daripada yang lain. Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan karena jika seorang hamba takut dicela Allah, tentunya dia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Oleh karena itu malu merupakan sebagian dari iman.
b. Malu kepada manusia. Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia kepada sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orang tuanya, istri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin menikah. Dan ini salah satu bentuk malu yang dirasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan, kerendahan, dan kehinaan. Karena itu engkau akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain.
4. Apa yang tercela dari sifat malu. Ketika perasaan malu dapat menghalangi manusia dari perbuatan jelek dan hina, maka dia adalah akhlak yang terpuji karena ia akan menyempurnakan iman, dan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Namun ketika malu melewati batasnya hingga menjadikan pemiliknya gelisah, grogi dan tidak berani untuk berbuat yang seharusnya tidak malu daripadanya, maka malu tersebut adalah tercela karena ia malu bukan pada tempatnya, seperti perasaan minder yang menghalangi untuk mendapatkan ilmu dan meraih rizki.
5. Malu wanita muslimah. Wanita muslimah menghiasi dirinya dengan sifat malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerja sama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fitrah kewanitaan yang selamat.
6. Buah dari rasa malu. Buah dari rasa malu adalah ’iffah (menjaga kehormatan), barang siapa yang memiliki rasa malu sehingga mewarnai seluruh amalnya maka secara otomatis dia akan berlaku ’iffah.
7. Kebalikan dari malu adalah waqahah (tidak punya malu). Ia merupakan sifat tercela karena akan menyeret pemiliknya tenggelam dalam kejahatan dan tidak akan mempedulikan cacian dan hinaan, hingga dia berani secara terang-terangan melakukan kejahatan.
8. Kewajiban orang tua dan pendidik dalam masyarakat Islam adalah mengajarkan dengan sungguh-sungguh sifat malu dan menempuh jalan pengajaran yang sudah diajarkan, mencakup pengawasan prilaku dan perbuatan anak-anak, menjauhkan hal-hal yang bertolak belakang dengan keutamaan malu, memilihkan teman yang shalih dan menjauhkan teman yang jahat, memberikan arahan untuk memilih buku-buku yang bermanfaat, menjauhkan dari hal-hal yang merusak, seperti film, humor dan kata-kata kotor.
9. Hadits ini menunjukkan pada kita bahwa malu itu semuanya baik. Barang siapa yang banyak malunya banyak kebaikannya dan barang siapa yang sedikit rasa malunya, maka sedikit pula kebaikannya.
10. Tidak boleh malu dalam mengajarkan hukum-hukum agama dan tidak boleh malu dalam mencari kebenaran.
Sungguh beruntung orang-orang yang memiliki rasa malu. Islam telah memberikan tempat yang mulia bagi perasaan malu.
Lalu apakah rasa malu yang kita miliki bisa menghambat kita dari pengembangan diri, dari tampil di muka umum, dari memberikan koreksi terhadap orang lain, atau dari kebaikan-kebaikan yang harus dilakukan dengan kepercayaan diri ( PD ), dan terkadang kita masih belum terlalu PD atau masih suka sering salah, seperti misalnya berbicara di forum formal, atau aktivitas yang terlihat orang ?
Sesungguhnya bukan itu rasa malu yang dibahas disini. Rasa malu yang dibahas adalah perasaan malu untuk berbuat kemaksiatan, perasaan malu terhadap Allah, dan perasaan malu kalau tidak berbuat kebaikan. Nah, itulah rasa malu sebenarnya.
Kalau dalam konteks rasa malu untuk tampil di depan umum, belum percaya diri, grogi, takut salah, dll, maka mungkin itu lebih tepat digolongkan ke dalam rasa minder. Karena sesungguhnya rasa malu itu punya tempat, dan rasa malu yang baik itu pastikan membawa kebaikan bagi pemiliknya.
Karena arti malu adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela atau menahan diri dari mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya karena khawatir mendapat cacian, maka seruan untuk meninggalkan semua kemaksiatan dan kejahatan. Disamping itu malu adalah salah satu sifat kebaikan yang disukai oleh manusia. Mereka melihat bahwa ketiadaan sifat malu adalah kekurangan dan aib, sebagaimana malu juga adalah tanda dari kesempurnaan iman.
“Malu itu cabang dari iman”. Dan “Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”. Bahkan secara global, bahwa hukum-hukum dan arahan-arahan dalam islam adalah bertujuan untuk membangun kebaikan dan kebenaran, dakwah yang hangat dan ikhlas untuk meninggalkan akhlak yang tercela.
Siapa yang mempunyai sifat malu secara sempurna, maka sesungguhnya dia telah mendapatkan nikmat yang sempurna dari Allah dan agamanya pun telah lengkap. Rasa malu itu bahkan merupakan ciri yang paling spesifik ( khusus ) dari akhlak Islam. Hal ini seperti diisyaratkan Rasulullah saw. melalui sabdanya :

“Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu”. ( HR. Imam Malik rahimahullah ta’ala).

Ketika Rasulullah saw. ditanya :

Apakah rasa malu berasal dari agama? Maka jawaban Beliau saw., justru agama secara keseluruhan adalah ( pancaran) rasa malu. ( HR. Imam Thabrani dan yang lainnya)
Rasa malu merupakan akhlak yang paling asli dan pokok dari akhlak Rasulullah saw. hal itu antara lain diisyaratkan oleh salah seorang sahabat bernama Abu Said al Khudri r.a. :


“Sesungguhnya Rasul saw. lebih pemalu daripada malunya seseorang gadis yang dipingit di tempat pingitannya, lalu terlihat laki-laki. Apabila Rasulullah saw. tidak menyukai sesuatu, kami melihatnya dari wajahnya.” ( HR. Abu Daud ).
Sesungguhnya malu itu merupakan pagar yang paling pokok untuk menjaga umat supaya sendi-sendinya tidak terserabut dan bangunannya tidak hancur. Sebagai contoh, jika ada seorang pedagang yang tamak atau rakus lantas berani menipu, lalu dia sadar dan merasa bahwa perbuatannya itu bertolak belakang dengan keimanan dan agamanya, dia pun merasa malu untuk melanjutkan kebiasaannya, sehingga akhirnya dia hanya ingin menjadi pedagang yang jujur, luwes dan dapat dipercaya, maka selamatlah dia. Contoh lain, seorang gadis yang merasa sangat malu, bahkan jijik meniru wanita-wanita yang berani memakai pakaian-pakaian yang sangat tipis ( tembus pandang ), berjalan berlenggak-lenggok dengan berbagai macam perhiasan, berani berdansa dengan laki-laki jahat. Dia akan menahan diri untuk tidak berlaku seperti itu, maka dia termasuk wanita yang salehah dan mempunyai rasa malu.
Jika sifat malu itu sebagian pokok dari keimanan, maka orang yang memiliki sifat malu sudah pasti termasuk ahli surga, sedangkan orang yang tidak mempunyai sifat malu, termasuk ahli neraka. Hal ini seperti disebutkan Nabi Muhammad Saw. :

Artinya : “Malu itu bagian dari keimanan, dan keimanan itu dapat memasukkan seseorang ke dalam surga, sedang sifat yang keji ( tidak malu ) adalah sifat yang kasar, dan sifat kasar itu menyebabkan masuk neraka.” ( HR. Imam Ahmad, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih ).
Jadi intinya, milikilah rasa malu, karena rasa malu itu memiliki keutamaan yang tinggi dalam Islam, sehingga akhirnya rasa malu itu bisa menghalangi kita dari berbuat dosa maupun kemaksiatan. Namun, tempatkan rasa malu itu pada koridornya yang benar, untuk beberapa hal, menjadi seorang yang pemalu itu tidak tepat, contohnya ketika ingin menuntut ilmu, ataupun ketika kita akan berbuat kebaikan, karena sesungguhnya rasa malu itu membawa kebaikan.










KESIMPULAN

Jadi dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sifat malu merupakan sifat yang paling utama dan paling agung, dan seseorang yang diberi sifat atau pribadi pemalu, maka sesungguhnya dia telah mempunyai segala kebaikan.
Macam-macam malu ada 2 :
1. Malu kepada Allah SWT.
2. Malu kepada manusia
Dan intinya, milikilah rasa malu, karena rasa malu itu memiliki keutamaan yang tinggi dalam Islam, sehingga akhirnya rasa malu itu bisa menghalangi kita dari berbuat dosa maupun kemaksiatan. Namun, tempatkan rasa malu itu pada koridornya yang benar, untuk beberapa hal, menjadi seorang yang pemalu itu tidak tepat, contohnya ketika ingin menuntut ilmu, ataupun ketika kita akan berbuat kebaikan, karena sesungguhnya rasa malu itu membawa kebaikan.















DAFTAR PUSTAKA

Al Basyuni, Ahmad. 1994. Syarah Hadis : Cuplikan dari Sunah nabi Muhammad SAW. Bandung: Trigenda Karya.
Al-Bugha, Musthafa Dieb dan Al-Khin, M. Sa’id. 2002. Al-Wafi Syarah Hadis Arba’in Imam An-Nawawi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Arifin, Syamsul. 2008. www.eramuslim.com/oase-iman/rasa-m

Makalah Tafsir


PENDAHULUAN


            Ayat-ayat dalam makalah ini membicarakan tema dengan titik sentral kepribadian Rasulullah SAW. hakikat kenabiaannya yang mulia, nilai hakikat yang besar ini bagi kehidupan masyarakat sosial umat Islam, dan sejauh mana rahmat Allah menggapai umat ini. Di sekeliling titik sentral ini terdapat beberapa garis lain mengenai manhaj islami dalam mengatur kehidupan kaum muslimin dan prinsip-prinsip penataan ini.
            Hakikat pokok yang terajut pada titik sentralnya, yaitu hakikat kenabian yang mulia, niscaya kita jumpai hakikat rahmat Ilahi yang terlukis dalam akhlak Nabi SAW. dan tabiat beliau yang baik, penuh kasih sayang, dan lemah lembut, yang menarik hati dan jiwa manusia di sekitarnya. Kita jumpai pula pokok peraturan yang menjadi landasan tegaknya kehidupan masyarakat Islam, yaitu syura (musyawarah), yang diperintahkan untuk dilakukan pada tempatnya.
            Untuk mewujudkan suatu masyarakat madani, maka kita sebagai umat Islam harus meneladani akhlak Rasulullah SAW. dimana dengan akhlak seperti itu masyarakat sosial akan tergerak hatinya untuk mengikuti kita.
            Maka sebagai tanggung jawab seorang Muslim terhadap masyarakat, dalam kondisi bagaimanapun adalah harus bersikap seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. kita dianjurkan untuk peduli terhadap sesama.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berhati lembut dengan rahmat Allah, semoga sifat kaku, keras dan kasar yang masih menghinggapi hati kita segera dihilangkan Allah dan diganti dengan kasih sayang, sepenuh hati, sepenuh jiwa, sepenuh rongga dada.






PEMBAHASAN


1.       QS. Al-Imran : 159

$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ

Artinya : “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

Penjelasan

            Firman ini ditujukan kepada Rasulullah SAW. untuk menenangkan dan menyenangkan hati beliau, dan ditujukan kepada kaum muslimin untuk menyadarkan mereka terhadap nikmat Allah atas mereka. Diingatkan-Nya kepada beliau dan kepada mereka akan rahmat Allah yang terlukis di dalam akhlak beliau yang mulia dan penyayang, yang menjadi tambatan hati para pengikut beliau. Hal itu dimaksudkan untuk memfokuskan perhatian kepada rahmat yang tersimpan di dalam hati beliau sehingga bekas-bekasnya dapat mengungguli tindakan mereka terhadap beliau dan mereka dapat merasakan hakikat nikmat Ilahi yang berupa nabi yang penyayang ini. Kemudian diserunya mereka, dimaafkannya kesalahan mereka, dan dimintakannya ampunan kepada Allah bagi mereka. Diajaknya mereka bermusyawarah dalam menghadapi urusan ini, sebagaimana beliau bisa bermusyawarah dengan mereka, dengan tidak terpengaruh emosinya terhadap hasil-hasil musyawarah itu yang dapat membatalkan prinsip yang asasi dalam kehidupan Islami.

          Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu….”

          Inilah rahmat Allah yang meliputi Rasulullah dan meliputi mereka, yang menjadikan beliau begitu penyayang dan lemah lembut kepada mereka. Seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya hati masyarakat di sekitar beliau tidak akan tertarik kepada beliau dan perasaan mereka tidak akan tertambat pada beliau. Manusia itu senantiasa memerlukan naungan yang penuh kasih sayang, pemeliharaan yang optimal, wajah yang ceria dan peramah, cinta dan kasih sayang, jiwa dan kepenyantunan yang tidak menjadi sempit karena kebodohan, kelemahan, dan kekurangan mereka. Mereka memerlukan hati yang agung, yang suka memberi kepada mereka dan tidak membutuhkan pemberian dari mereka, yang mau memikul duka derita mereka dan tidak menginginkan duka deritanya dipikul mereka, dan yang senantiasa mereka dapatkan padanya kepedulian, perhatian, pemeliharaan, kelemahlembutan, kelapangan dada, cinta kasih, dan kerelaan.
            Demikianlah hati Rasulullah SAW. dan kehidupan beliau bersama masyarakat. Beliau tidak pernah marah karena persoalan pribadi, tak pernah sempit dadanya menghadapi kelemahan mereka selaku manusia, dan tak pernah mengumpulkan kekayaan dunia untuk dirinya sendiri, bahkan beliau berikan kepada mereka apa yang beliau miliki dengan lapang dada dan rasa lega. Kepenyantunan, kesabaran, kebajikan, kelemahlembutan, dan cinta kasihnya yang mulia senantiasa meliputi mereka. Tidak ada seorangpun yang bergaul dengan beliau atau melihat wajah beliau, melainkan hatinya akan dipenuhi rasa cinta kepada beliau, sebagai hasil dari apa yang dilimpahkan beliau dari jiwa beliau yang besar dan lapang.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada ku untuk mengelilingi ummatku sebagaimana Allah memerintahkanku dalam melaksanakan ibadah fardhu”.
Yang demikian itu adalah gambaran bagaimana Rasulullah menjalin kasih sayang terhadap kaum Muslimin dengan membiasakan diri bersilaturrahmi ke rumah-rumah mereka di tempat kediaman mereka, sehingga terjalinlah hubungan persaudaraaan yang terukir di dalam kalbu. Beliau sanantiasa berlapang dada untuk meaafkan kesalahan ummat, bahkan senantiasa memohonkan ampun bagi mereka sebagaimana Allah perintahkan kepada beliau.

          …. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu….”

          Dengan nash yang tegas ini, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan hingga Muhammad Rasulullah SAW. sendiri melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa syura merupakan prinsip dasar dimana nizham Islam tidak ditegakkan di atas prinsip lain. Adapun bentuk syura beserta implementasinya, adalah persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalangan umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya. Maka, semua bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura, buka sekedar simbol lahiriahnya saja, adalah dari Islam.
Syura atau musyawarah merupakan sendi Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam kondisi yang bagaimanapun musyawarah merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Begitu contoh teladan dari Rasulullah dan khalifah sesudahnya.
Kebiasaan ini telah ditempuh Rasulullah sejak mengawali langkah dakwahnya. Hampir semua urusan ummat dirundingkan bersama, bahkan hingga urusan-urusan kecil. Abu Hurairah pernah berkomentar, "Saya tidak pernah melihat seorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya melebihi Rasulullah saw."
Musyarawah nampaknya sudah menjadi karakter Rasulullah. Meskipun beliau telah mendapatkan wahyu dan petunjuk langsung dari Allah sebagai suatu kebenaran yang mutlak, tapi beliau tetap meminta pendapat para sahabat. Hal ini dilakukan bukan karena beliau tidak tahu persoalan dan tidak mengerti solusi pemecahannya, tapi karena beliau ingin mewariskan nilai-nilai musyawarah kepada ummatnya. Agar musyawarah menjadi tradisi ummat Islam.

2.       QS. An-Nisaa’ : 36

* (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·qãsù
          Artinya : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”

Penjelasan
            Ibnu sabil di sini diartikan orang yang keputusan belanja di dalam perjalanan, anak-anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya, orang-orang yang mengembara untuk keperluan Islam dan Muslimin.
            Dalam ayat 36 tersebut diatas, Allah menjelaskan kewajiban-kewajiban bagi seorang Muslim yang secara garis besarnya ada tiga macam. Ketiga macam kewajiban tersebut adalah :
a.       Kewajiban kepada Allah, yaitu menyembah dan tidak mempersekutukannya.
b.       Berbuat baik kepada kedua orang tua
c.       Berbuat baik kepada masyarakat, yaitu kepada keluarga dekat, tetangga dekat dan jauh, kepada orang yang berada dalam perjalanan, dan berbuat baik kepada orang-orang yang berada di bawah tanggungannya.

Dari ayat ini jelas bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak hanya berkewajiban menyembah Allah SWT, akan tetapi ia juga harus memiliki sifat peduli terhadap masyarakat di sekitarnya, sehingga boleh dikatakan bahwa ibadah seseorang tidak akan sempurna bila tidak dibarengi dengan kepedulian terhadap keadaan masyarakat sekitarnya. Sebab kalau dilihat dari segi bahasa, rangkaian perintah tadi menggunakan kata sambung wa ( artinya=dan). Maksudnya, kalau perintah menyembah Allah itu wajib maka berbuat baik kepada orang tua, kerabat, anak yatim dan sebagainya juga wajib.

Ayat itu diakhiri dengan :

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”.

Karena orang yang sombong senantiasa meremehkan semua hak orang-orang lain, memandang orang lain rendah dan hina. Sifat angkuh dan sombong jelas akan menjauhkan seseorang dari masyarakat dan tidak disenangi oleh masyarakat, sehingga akhirnya hubungan harmonis antar sesama manusia menjadi sirna. Bila hubungan antar manusia tidak lagi berjalan dengan harmonis maka hilanglah salah satu sifat manusia sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat sombong sangat dibenci oleh Allah SWT.




















KESIMPULAN


            Untuk mewujudkan masyarakat yang kita inginkan, kita harus mencontoh akhlak Nabi Muhammad dalam menata kehidupan. Hanya dengan memiliki sifat yang lemah lembut kita bisa mengajak masyarakat sosial mengikuti kita. Memaafkan mereka ketika mereka berbuat salah, dan bermusyawarah dengan mereka ketika ada suatu masalah yang harus diselesaikan.
            Seandainya bersikap keras dan berhati kasar, niscata hati orang-orang di sekitar kita tidak akan tertarik kepada kita dan perasaan mereka tidak akan tertambat pada kita. Karena manusia senantiasa memerlukan naungan yang penuh kasih sayang, wajah yang ceria dan peramah.
            Kewajiban setiap manusia adalah :
  1. Menyembah dan mengesakan Allah.
  2. Berbakti kepada kedua orang tua
  3. Berbuat baik kepada orang lain ( dalam hal ini termasuk masyarakat sosial ).

















DAFTAR PUSTAKA


Hassan. 2004. Tafsir Qur’an Al-Furqan. Surabaya : Al-Ikhwan.
Matsna,Mohammad. 1996. Qur’an Hadits. Semarang : Toha Putra
Quthb,Sayyid. 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta : Gema Insani.
http://khilafatulmusliminksb.wordpress.com/2008/08/16/tafsir-qsali-imron-159-160/
http://www.geocities.com/CollegePark/4664/ap_q3159.htm