Halaman

Assalamu'alaikum, have barokah day ;)

Minggu, 29 Mei 2011

Makruh Bukan berarti Boleh

Setiap perokok mungkin akan membenarkan tindakannya dengan berlindung pada hukum makruh. Tidak mau divonis haram. Tidak mau disalahkan. Toh, kebanyakan ulama tradisional juga masih mengkonsumsi rokok dengan berpegang pada dalil masing-masing, termasuk mengenakan hukum makruh pada rokok.

Hukum pembebanan syariat (taklify) terbagi lima : Halal, Sunnah, Haram, Mubah, Makruh. Sebagian lagi malah menambahkan dua jenis hukum lagi dari yang di atas, yakni : Makruh Tanzihiyan (cenderung ke halal) dan makruh tahrimiyan (cenderung ke haram).

Betapa mudahnya kita menggampangkan suatu hukum, atau cenderung mengikuti hukum yang gampang. Padahal hukum makruh tidak bisa dianggap remeh. Tapi kita malah sering menganggap, makruh itu sama ringannya dengan hukum mubah. Padahal tidak, sama sekali berbeda!

Sebagaimana hukum yang lain, makruh termasuk dalam hukum taklif seperti yang disebutkan di atas. Beberapa ulama mendefinisikan hukum makruh ini. Makruh menurut bahasa berarti ‘hal yang tidak disukai’. Sedangkan menurut istilah syara’, makruh berarti ‘pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa akan disiksa apabila mengerjakannya’.

Bagian paling rendah dalam rangkaian perkara-perkara yang dilarang adalah perkara makruh; baik makruh tahrimi ialah perkara makruh yang lebih dekat kepada haram serta makruh tanzihi ialah yang lebih dekat kepada halal. Demikian menurut Yusuf Qardhawi.

Sedangkan istilah yang sering kita dengar, perkara makruh adalah perkara yang apabila ditinggalkan kita mendapatkan pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Mengapa kita meninggalkan pahala dan tidak mendapat apa-apa karena merokok?

Imam Syafei, ulama salah satu mahdzab yang fiqihnya banyak dianut oleh muslim Indonesia, menyebutkan, “Makruh kadang berarti haram”. Itu artinya, jika Imam Syafei mengatakan makruh pada suatu perkara, maka maksudnya adalah haram. Sikap seperti ini didasarkan kepada kehati-hatian di dalam mengistinbatkan suatu hukum.

Ada banyak pendapat ulama dalam mendefinisikan makruh. Dari segi bahasa dapat diartikan sebagai hal yang dibenci, atau yang tidak disukai. Tentu saja kita tidak ingin dibenci oleh siapapun, terutama oleh Allah. Sebagaimana perkara thalaq (cerai) yang memang tidak diharamkan oleh Allah, taapi sangat dibenci di sisi-Nya.

Bagaimana mungkin kita mengaku beriman, cinta, dan taat pada Allah, namun kita justru lebih menyukai hal-hal yang dibenci oleh Allah. Makruh juga bisa berarti haram. Ini merupakan sikap kehati-hatian para ulama.

Jadi jangan merasa aman jika kita melakukan sesuatu yang makruh. Sudah seharusnya kita meninggalkan sesuatu yang dibenci oleh Allah. Kalau memang ada hal-hal yang meragukan (kita tidak tahu halal atau haramnya), maka lebih baik kita tinggalkan.
Masih beranikah kita merasa aman dengan hukum makruh? Wallahu’alam bishawab.

Sumber : Buletin Jum'at Insan Mulia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar