Halaman

Assalamu'alaikum, have barokah day ;)

Kamis, 22 Oktober 2009

TASAWUF FALSAFI IBNU ’ARABI

PENDAHULUAN


Tasawuf falsafi tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam artian yang sesungguhnya karena teori-teorinya selalu ditemukan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada penyamaan antara Tuhan dengan Alam dalam hakikat. Tasawuf ini juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga dimasuki oleh unsur-unsur rasa ( zauq ).
Kala kita menghampiri karya pemikir visioner, penyair, filosof, teolog dan guru yang bijaksana nan agung, Ibnu ‘Arabi sebagaimana yang dilakukan disini antara posisi kepadatan ajaran filosofis dan kejelasan rasionalnya al-Farabi dan posisi kesegeraan dan kesederhanaan dari nasihat spiritualnya Ostad Elahi, beberapa karakteristik khas dari karyanya benar-benar akan kita manfaatkan. Untuk memulainya, hampir setiap penuturannya terekspresikan dalam beberapa bentuk interpretasi ( ta’wil ) personal yang unik perihal kanon resmi Islam, apakah Al-Qur’an atau al-Hadits, atau perihal para Muslim terdahulu dalam menafsirkan sumber-sumber wahyu itu.
Sebuah penafsiran untuk pastinya, dengan aspek-aspek yang berubah secara konstan dan beragam perspektif spiritual dan intelektual yang bersifat dan dari dulunya sangat unik dan tak bisa ditiru, dirancang untuk mengguncang, mengejutkan, membenturkan, membingungkan, dan mempesona para pembaca yang paling cerdik dan sarat bekal pengetahuan sekalipun. Kedua dan lagi memang berlaku untuk semua karyanya, tentunya termasuk keluasan samudera Pencerahan-pencerahan Mekkah yang menjadi perhatian kita disini, cara Ibnu ‘Arabi mengungkapkan ide-ide dan maksud-maksud esoteriknya amat berani, tidak segan-segan dan jitu. Maksud Ibnu ‘Arabi yang sesungguhnya dan makna-makna terdalamnya tersembunyi secara baik dan sarat simbol ( sama halnya dengan kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an sendiri ).


PEMBAHASAN


1. Ibnu Arabi ( Wafat 638 H/1240)

Nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah ath-Tha’I al-Haitami. Dia lahir pada tahun 560 H (1163 M) di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol. Dia lahir dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan. Pada usia delapan tahun, keluarganya pindah ke Sevilla di mana Ibnu ‘Arabi belajar Al-Qur’an, Al-Hadits dan fiqih pada sejumlah murid faqih terkenal Andalusia, Ibnu Hazm al-Zhahiri. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari, dan melanglang buana keberbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.
Di antara bukunya yang sangat terkenal adalah Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa kitab Al-Futuhat al-Makkiyah adalah imla’ dari Tuhan sedang Fushush al-Hikam adalah pemberian Rasulullah SAW. Mahmud ( dalam Jamil, 2004:109). Muhammad Yusuf Musa mengatakan bahwa kedua kitab Ibnu ‘Arabi ini adalah dua sumber utama bagi siapa saja yang mau mempelajari tasawuf Ibnu ‘Arabi.


2. Wahdat Al Wujud

Di antara ajaran terpenting dari Ibnu’ Arabi adalah wahdat al-wujud, yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq). Aspek dalam disebut Tuhan (al-haqq). Menurut faham ini, aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam ( Tuhan ) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut. Allah adalah hakikat alam sedangkan alam ini hanyalah bayangan dari wujud Tuhan. Karena itu menurut faham ini tidak ada perbedaan antara makhluk dengan Tuhan. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam, sedagkan hakikatnya sama. Faham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi, misalnya dapat dilihat dari perkataannya berikut :

”Mahasuci Tuhan yang telah menzahirkan segala sesuatu dan Dia adalah hakikat (ain) dari segala sesuatu itu”.

Ungkapan Ibnu ‘Arabi ini, disamping menunjukkan bahwa segala sesuatu bukan tercipta dari sesuatu yang tidak ada tetapi dari sesuatu yang ada, juga berarti bahwa semua yang ada ini wujudnya adalah satu dan apada hakikatnya wujud makhluq adalah wujud khaliq pula. Dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq dan makhluq maka itu karena dilihat dengan pandangan pancaindera lahir dan karena keterbatasan akal dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzatnya dari kesatuan dzatiyah, yang semua yang ada terhimpun pada-Nya.
Ibnu ‘Arabi di dalam syairnya juga mengatakan :

“Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba. Demi perasaanku, siapakah yang mukallaf. Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif”.

Ungkapan ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara hamba dan Tuhan. Perbedaan hanyalah pada ragam dalam penglihatan sedang hakikatnya satu. Dengan demikian, menurut Ibnu ‘Arabi bahwa wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat alam. Karena itulah, Amin ( dalam Jamil, 2004 : 110) menyimpulkan bahwa faham Ibnu ‘Arabi sebagai berikut : “ Dan tidaklah alam dalam bentuknya yang beraneka ragam ini, melainkan manifestasi wujud Allah Ta’ala”. Menurut Musa (dalam Jamil, 2004:110) bahwa kesimpulan ajaran aliran ini adalah sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud yang satu (Tuhan). Karena itu, Tuhan berwujud dalam berbagai bentuk, tetapi hal ini tidak mengharuskan berbilangnya wujud yang sebenarnya.
Dalam uraian filsafat, faham ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi sebagai berikut : “Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya, karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain….dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang apada esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tidak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya, bahkan ialah yang dalam esensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan…. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, tidak pada dirinya sendiri”. Nasution ( dalam Jamil,2004:111).
Dalam teori penciptaan, Ibnu ‘Arabi menganut faham tajalli atau tanazul ( menampakkan diri ). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi, bahwa Nur Muhammad ( haqiqah Muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari tahapan-tahapan tanazul zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud. Dari haqiqah Muhammadiyah inilah segala yang maujud dijadikan. Dengan demikian, penciptaan alam semesta ini termasuk manusia, dalam teori Ibnu ‘Arabi berasal dari Zat Tuhan sendiri kemudian ber tanazul kepada haqiqah Muhammadiyah sebagai tanazul tingkat pertama yang daripadanya melimpah wujud-wujud yang lain.
Ibnu ‘Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah yang tersembunyi menampakkan diri atau membuka diri. Jadi diumpamakan sebagai Allah bercermin, sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan, di mana Tuhan bisa melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya. Dengan teori tajalli ini berarti yang hakiki adalah Tuhan itu sendiri. Artinya wujud yang sebenarnya hanya tunggal (wahdat al-wujud), sedang alam hanyalah aspek luar atau bayang-bayang. Bukan yang hakiki. Proses penampakan Tuhan keluar dalam beberapa martabat dinamakan tanazul sedangkan proses kenaikan manusia kembali kepada Tuhan disebut taraqi.
Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa manusia adalah tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna, karena padanya tercermin alam semesta dan sifat-sifat ketuhanan. Menurutnya, manusia berbeda dengan segala sesuatu yang lain di mana meskipun Tuhan merupakan ‘ain segala sesuatu itu bukan ‘ain (zat)-Nya karena sesuatu itu hanya merupakan perwujudan sebagian asma-Nya, bukan Tuhan bertajalli pada sesuatu itu dalam bentuk zat-Nya. Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa Tuhan bertajalli dalam bentuk zat-Nya sendiri pada insan, yang disebut dengan ¬al-insan al-kamil. Al-insan al-kamil ini adalah Nur Muhammad atau al-haqiqah al-Muhammadiyah. Menurut Ibnu ‘Arabi, untuk mencapai tingkat al-insan al-kamil, seseorang mesti terlebih dahulu fana yakni hancur di dalam wujud Tuhan, di mana ia telah bersatu dengan-Nya, kemudian baqa’ dalam wujud Tuhan, semua adalah wujud Tuhan yang baqa’ ( kekal ).
Sebagai kesimpulan, Hamka ( dalam jamil, 2004:113) mengatakan :

“Jadi Ibnu ‘Arabi telah menegakkan faham serba Esa dan menolah faham serba dua. Segala sesuatu adalah atau hanyalah Satu. Tetapi dia berupa dalam bentuk yang berbagai-bagai atau berubah-ubah. Mirip dengan faham Phitagoras dalam dunia Filsafat, yang mengatakan “jiwa segala bilangan adalah satu”.

Ibnu ‘Arabi yakin bahwa umat manusia dan agama-agama yang tumbuh di tengah-tengah umat manusia itu adalah memiliki prinsip dasar yang sama yaitu menyembah kepada Allah Yang Maha Esa. Kitab-kitab suci Al-Qur’an, Zabur, Taurat dan Injil memiliki prinsip-prinsip ajaran dasar yang sama, sedang yang dituju adalah Yang Maha Esa itu. Perbedaan antara satu agama dengan agama lain hanyalah dalam lambang-lambang atau simbol-simbol yang ditonjolkan bagi masing-masing pengikut. Umat manusia dan Tuhan yang disembah adalah satu jua, kapan pun mereka hidup dan di manapun mereka berada.
Ibnu ‘Arabi boleh dihitung sampai di puncak faham wahdat al-wujud yang tumbuh di dalam pikiran ahli-ahli Tasawuf Islam. Dia telah menegakkan fahamnya dengan berdasar renungan fikir Filsafat dan Zauq Tasawuf. Meskipun karena takut ancaman orang awam, senantiasa dia berjalan berbelit-belit sehingga lantaran kesanggupannya mencari dan memilih kata, dan kefasihannya dan keahliannya menyusun karangan dapat menghanyutkan orang, hanya sedikit yang dapat mengetahui dasar pendiriannya.

3. Kesatuan Agama

Agama itu semuanya bagi Allah. Arif yang sejati memandang bahwasanya segala yang disembah itu hakikatnya adalah perlambang daripada yang sebenarnya disembah. Menyembah berhala atau yang lain, bahkan menghadapkan muka kepada ka’bah sendiripun, sama batal, kalau itu yang disembah. Sebab semuanya itu hanyalah perlambang. Sebaliknya, walaupun apa yang dijadikan perlambang, baik api, atau berhala, atau patung atau ka’bah, atau tidak ada apa-apa, asal tetap kepada Allah sendiri itulah dia agama. Ibadah yang sah ialah bila dipandang bahwa segala bentuk, segala rupa, segala yang nampak, dan segala apa saja, sebagai kenyataan dari hakikat yang Esa.
Sebagai orang Islam dia mengerjakan amalan Islam. Karena menuruti ijma’ ulama dia mengakui bahwa kiblat ialah Ka’bah. Tetapi dalam fahamnya sendiri menghadap kiblat bukanlah syarat sah shalat.
Faham Kesatuan Agama ini amat besar pengaruhnya. Jika dahulu oleh Al-Hallaj hanya sebagai pancaran perasaan, bagi Ibnu ‘Arabi adalah suatu filsafat pandangan hidup. Orang-orang yang mempercayai dan penuh Iman dalam agamanya, dengan sendirinya harus timbul rasa Kesatuan Agama itu dalam hatinya. Karena bila dikupas nama-nama yang lahir, sebagai Zat, dan Sifat yang disebut oleh orang Islam, maka itu jugalah hakikat dari Uknun yang tiga dalam ajaran Nasrani, Sang Bapa, Sang Putera dan Ruhul Kudus. Itulah pula hakikat dari nama Brahmana, Shiwa dan Wishnu dalam agama Hindu.
Demikianlah kira-kira ringkasan atau kupasan mudah dari dasar kepercayaan Persatuan Agama menurut Ibnu ‘Arabi itu. Apabila agama telah diiringkan oleh keluasan pengetahuan dan dihindarkan segala selubung fanatik dan taklid, lalu kembali kepada kemurnian fitrah insani, dengan sendirinya akan timbullah Kesatuan inti sari agama, walaupun tepat manusia tegak itu lain-lain.

4. Tingkat Daya Serap Spiritual

Ibnu ‘Arabi memaparkan manifestasi-manifestasi lainnya yang bisa ditangkap oleh “penglihatan batin” itu, yang ternyata juga dimiliki oleh individu-individu dengan tingkat inderawi dan kesadaran spiritual paling dasar sekalipun, di mana mereka pun bisa menyuguhkan contoh-contoh pengalaman dramatis mereka, mulai dari mimpi-mimpi dan intuisi-intuisi spiritual hingga kesemua manifestasi dari apa yang dijelaskan Ibnu ‘Arabi disana-sini sebagai pengakuan terdalam terhadap semua eksistensi.
Bentuk daya serap spiritual berikutnya yang disebutkan Ibnu ‘Arabi diawali dengan sebuah ayat Al-Qur’an yang terkenal yang biasanya difahami sebagai dasar memperbincangkan bentuk-bentuk teofani tertinggi dan paling langka, yaitu ilustrasi-ilustrasi perihal setiap Nabi. Tetapi dalam hal ini, dia cepat-cepat menjelaskan bahwa perhatian utamanya adalah ‘Hijab’ ( selubung/penutup) serta penyingkapan dan inspirasi-inspirasi yang sesuai yang jauh lebih akrab dan umum bagi masing-masing dari kita ketimbang yang kita akui.
Tataran ketiga dari daya serap spiritual yang diperkenalkan di sini dijelaskan dalam istilah-istilah sedemikian sehingga setiap orang yang pernah membuat apapun, apakah itu karya seni ataukah performa lainnya, dengan segera mengenali jenis inspirasi yang dijelaskan Ibnu ‘Arabi.


KESIMPULAN

Di antara ajaran terpenting dari Ibnu’ Arabi adalah wahdat al-wujud, yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam.
Dalam uraian filsafat, faham ini dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi sebagai berikut : “Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya, karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain
Dasar kepercayaan Persatuan Agama menurut Ibnu ‘Arabi itu. Apabila agama telah diiringkan oleh keluasan pengetahuan dan dihindarkan segala selubung fanatik dan taklid, lalu kembali kepada kemurnian fitrah insani, dengan sendirinya akan timbullah Kesatuan inti sari agama, walaupun tepat manusia tegak itu lain-lain.
Ibnu ‘Arabi memaparkan manifestasi-manifestasi lainnya yang bisa ditangkap oleh “penglihatan batin” itu, yang ternyata juga dimiliki oleh individu-individu dengan tingkat inderawi dan kesadaran spiritual paling dasar sekalipun, di mana mereka pun bisa menyuguhkan contoh-contoh pengalaman dramatis mereka, mulai dari mimpi-mimpi dan intuisi-intuisi spiritual hingga kesemua manifestasi dari apa yang dijelaskan Ibnu


DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1952. Perkembangan Tasauf. Jakarta : Putaka Keluarga
Jamil. 2004. Cakrawala Tasawuf. Ciputat : Gaung Persada Press
Mansur, Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Morris, James Winston. 2002. Sufi-Sufi Merajut Peradaban. Jakarta : Forum Sebangsa.
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak tasawuf. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar